LAPORAN FOKUS

Menua tapi Tak Siap Pensiun: Menelisik Kemandirian Finansial Hari Tua

Dian Kurniati
Kamis, 30 Oktober 2025 | 10.20 WIB
Menua tapi Tak Siap Pensiun: Menelisik Kemandirian Finansial Hari Tua
<p>Ilustrasi. Nasabah melakukan pencairan dana Jaminan Hari Tua (JHT) di Kantor BPJS Ketenagakerjaan Cabang Sudirman, Jakarta, Senin (14/2/2022).&nbsp;ANTARA FOTO/Asprilla Dwi Adha/wsj.</p>

DI sebuah rumah sederhana di Jakarta, Ali duduk santai di teras sambil menyeruput kopi hitam. Sejak memasuki masa pensiun, sehari-hari dia banyak di rumah sembari menunggu panggilan ibadah dari masjid.

"Hidup sekarang lebih tenang. Saya tidak perlu terburu-buru lagi seperti dulu di pabrik," ujarnya.

Ali adalah pensiunan dari sebuah perusahaan garmen. Selama lebih dari 3 dekade, dia bekerja di bagian kontrol kualitas — mengecek jahitan dan memastikan setiap pakaian yang keluar dari pabrik sempurna.

Berbekal kedisiplinan, Ali mampu membiayai pendidikan kedua anaknya hingga perguruan tinggi. Setelah resmi pensiun 3 tahun lalu, kini dia mengandalkan uang pensiun dan dana yang tersimpan di tabungan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Dia juga sempat bercerita tentang pengalamannya mencairkan Jaminan Hari Tua (JHT) dari BPJS Ketenagakerjaan. Walaupun sempat bingung soal prosedurnya, ternyata prosesnya cukup mudah asal berkas lengkap.

"Saya dulu sering khawatir, nanti pensiun mau ngapain. Tapi ternyata kalau kita bersyukur dan bisa menikmati yang ada, hidup tetap indah," tuturnya.

Manfaat memiliki JHT juga dirasakan Vitri usai mengajukan pensiun dini pada awal tahun ini. Uang yang ia terima dari JHT menjadi salah satu penopang biaya hidup di masa transisi setelah berhenti bekerja.

"Bersyukur banget ada JHT. Kalo enggak ada sih, gimana cicilan rumah gue?" ujarnya.

Vitri baru mengajukan pencairan JHT setelah 4 bulan pensiun dini. Menurutnya, hal paling menantang dari pencairan JHT tersebut adalah pengajuan klaim secara online.

Setelah 3 kali mencoba, proses pengajuan klaim JHT berhasil hingga diperoleh jadwal untuk datang ke kantor cabang. Pada H-1 ke kantor cabang, dia dihubungi oleh petugas BPJS Ketenagakerjaan untuk proses wawancara melalui video call.

Ternyata tanpa perlu ke kantor cabang, semua proses klaim JHT bisa diselesaikan saat proses wawancara. Dana manfaat pensiun pun cair 5 hari kerja kemudian.

Namun, lantaran belum berusia 56 tahun, Vitri tidak bisa mengeklaim JHT sekaligus.

"Setelah masa kerja yang cukup panjang, punya BPJS sangat membantu ketika sudah pensiun," katanya.

Sementara itu, Jihan mulai menyadari pentingnya mempersiapkan diri untuk masa pensiun walaupun usianya masih awal 30 tahun. Mengingat usia produktif manusia yang terbatas, dia ingin mengumpulkan bekal untuk masa pensiun sejak dini.

Selain menjadi peserta BPJS Ketenagakerjaan untuk manfaat JHT dan jaminan pensiun, dia juga berusaha menabung untuk masa tua.

"Di masa depan pasti ada inflasi dan segala macam. Untuk menjaga gaya hidup yang layak, aku enggak mau cuma mengandalkan uang jaminan pensiun," ujarnya.

Indonesia Menuju Tua

Pada 2030, diperkirakan 1 dari 6 orang di dunia akan berusia 60 tahun atau lebih (WHO, 2024). Sementara saat ini, proporsi penduduk lansia berusia 60 tahun ke atas telah meningkat dari 1 miliar pada 2020 menjadi 1,4 miliar pada 2024.

Di Indonesia, persentase lansia mengalami peningkatan hampir 4 poin persentase menjadi 12% hanya dalam 1 dekade terakhir (BPS, 2024). Pada 2045, penduduk lansia diproyeksi akan berjumlah 65,82 juta atau mencapai 20,31% dari total penduduk.

Peningkatan penduduk lansia merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindari lantaran jumlah orang yang berusia produktif saat ini berlimpah, tetapi pada beberapa tahun mendatang mereka akan memasuki usia lanjut atau pensiun.

"Ada istilah dari penuaan menjadi tua. Tahun 2043, Indonesia akan menjadi penduduk tua, sama dengan kondisi Jepang saat ini," ujar Deputi Bidang Pemberdayaan Masyarakat, Kependudukan, dan Ketenagakerjaan Bappenas Maliki.

Pemerintah telah memiliki beberapa program untuk mencapai penduduk lansia yang sehat, mandiri dan bermartabat. Sehat berarti lansia memiliki pola hidup dan makanan yang sehat. Hal itu penting mengingat sekitar 10% lansia berusia 60 tahun ke atas pada saat ini sudah membutuhkan perawatan khusus.

Kemudian, mandiri artinya lansia memiliki cukup uang atau sumber daya untuk melanjutkan hidup. Adapun bermartabat berarti lansia tetap bisa menjadi teladan karena memiliki banyak pengalaman di bidangnya masing-masing.

Maliki menilai perlu proses panjang untuk mencapai ketiga tujuan tersebut. Misal soal kemandirian, saat ini masih banyak lansia terpaksa tetap bekerja untuk memenuhi kebutuhan konsumsinya.

"Jadi kita tidak ada istilah untuk pensiun karena sebagian besar, terutama lansia yang tidak terlalu mampu, mereka terus bekerja meskipun itu informal," ujarnya.

Dalam Statistik Penduduk Lanjut Usia 2024 dilaporkan bahwa 2 dari 3 lansia (66,65%) masih bekerja. Dari lansia yang bekerja, sebanyak 84,75% di antaranya bekerja di sektor informal.

Rata-rata penghasilan lansia ini hanya Rp2,07 juta per bulan atau jauh di bawah upah minimum. Sebanyak 83,74% rumah tangga lansia memenuhi
kebutuhan hidupnya dari penghasilan anggota rumah tangga yang bekerja, serta dari kiriman pihak lain (10,97%), dan dari uang pensiun (5,01%).

Menurut Maliki, uang pensiun biasanya dimiliki oleh pensiunan aparatur sipil negara (ASN) dan anggota tentara. Sementara untuk pensiunan pegawai swasta, memang belum banyak yang memiliki jaminan pensiun BPJS Ketenagakerjaan.

Pada pensiunan pegawai swasta tersebut, besaran klaimnya pun hanya berkisar Rp500.000 hingga Rp4 juta per bulan.

"Nah, yang harus kita pikirkan ke depan adalah cakupan pensiun ini," katanya.

Pemerintah berupaya meningkatkan cakupan program jaminan pensiun pada BPJS Ketenagakerjaan, termasuk pekerja di sektor informal. Dalam RPJPN 2025-2045, terdapat strategi penguatan sistem jaminan sosial nasional yang efektif dan mencapai cakupan universal.

Sementara dalam RPJMN 2025-2029, tertulis arah dan intervensi kebijakan melalui perluasan cakupan kepesertaan serta penguatan program dan kelembagaan jaminan sosial nasional. Salah satunya, peningkatan akses program pensiun bagi seluruh segmen pekerja.

"Strateginya yang terpenting adalah literasi. Mereka mungkin masih berpikir itu iuran, uangnya nanti habis. Padahal manfaatnya akan terasa nanti," ujarnya.

Direktur Pengembangan Dana Pensiun, Asuransi, dan Aktuaria DJSPSK Kemenkeu Ihda Muktiyanto memandang salah satu tantangan dalam sistem pensiun saat ini adalah tingkat kepesertaan yang rendah. Sistem pensiun baru mencakup sekitar 16% angkatan kerja.

Pada pekerja formal, kepesertaan dalam sistem pensiun baru 40%, sementara untuk pekerja informal kurang dari 1%. Adapun porsi pekerja informal sekitar 60% angkatan kerja.

Total aset program pensiun juga baru senilai Rp1.509,9 triliun pada 2024 atau 5,8% dari PDB. Sementara dalam RPJPN, aset dana pensiun ditargetkan naik ke 60% PDB pada 2045.

Apabila dibandingkan dengan negara lain, aset dana pensiun di Malaysia sebesar 90% PDB, sedangkan di Kanada mencapai 205,3% PDB.

"Masih cukup banyak ruang bagi kita bisa meningkatkan dan mengejar ketertinggalan," ucapnya.

Direktur Utama BPJS Ketenagakerjaan Pramudya Iriawan Buntoro menyebut total peserta aktif program jaminan sosial ketenagakerjaan hingga September 2025 adalah sebanyak 42,03 juta. Angka ini baru 41,28% dari 101,81 juta potensi pekerja eligible.

Sebanyak 100% pekerja yang menjadi peserta aktif BPJS Ketenagakerjaan telah terlindungi atas risiko kematian/kecelakaan. Namun, pekerja yang mendapatkan perlindungan JHT dan manfaat jaminan pensiun masing-masing hanya 46,8% dan 36,3%.

Perlakuan Pajak atas Manfaat Pensiun

Sama seperti penghasilan lainnya, uang pensiun juga tidak lepas dari pajak. Ali dan Vitri yang sebelumnya sempat menceritakan pengalamannya soal pensiun, memiliki pandangan tentang perlakuan pajak atas dana manfaat JHT.

Ali mengaku kaget ketika mengetahui bahwa uang pensiunnya dipotong pajak. Namun, dia tidak keberatan dengan potongan pajak tersebut.

"Waktu tahu ada potongan, saya sempat mikir, 'sayang juga ya'. Tapi setelah dijelaskan bahwa itu aturan pajak penghasilan, saya jadi maklum. Yang penting uangnya bisa saya terima dan dimanfaatkan," ujarnya.

Sementara itu, Vitri menyampaikan keberatannya terhadap pemotongan pajak atas manfaat JHT karena 2 hal. Pertama, klaim manfaat JHT dilakukan ketika orang dalam kondisi yang tidak baik-baik saja lantaran sudah mengakhiri masa kerjanya.

Kedua, para pensiunan telah memberikan kontribusi dengan membayar pajak atas penghasilannya selama aktif bekerja.

Adapun Jihan, mengaku tidak masalah dengan pajak yang bakal dipotong asal pemerintah senantiasa memperbaiki sistem pajak yang ada.

"Dengan begitu manfaatnya nanti bisa dinikmati bareng-bareng, walaupun pasti tetap terasa berat saat dipotong," ucapnya.

Memang belum semua peserta JHT memahami ketentuan pajak atas manfaat yang akan mereka terima. Oleh karena itu, BPJS Ketenagakerjaan kerap memperoleh pertanyaan mengenai perlakuan pajak atas dana manfaat pensiun yang diklaim.

Selain itu, akun media sosial BPJS Ketenagakerjaan juga sering ditanya soal prosedur dan syarat mengeklaim manfaat JHT.

"Perihal dokumen pencairan JHT adalah e-KTP, kartu peserta Jamsostek (KPJ), dan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) apabila saldo yang dicairkan di atas Rp50 juta," tulis BPJS Ketenagakerjaan di media sosial X. (dik)

Editor : Dian Kurniati
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Ingin selalu terdepan dengan kabar perpajakan terkini?Ikuti DDTCNews WhatsApp Channel & dapatkan berita pilihan di genggaman Anda.
Ikuti sekarang
News Whatsapp Channel
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.