“PENSIUN kok dipajaki? Negara tega amat sama orang tua!”
Kalimat seperti itu ramai berseliweran di media sosial beberapa waktu terakhir. Nada protes muncul setelah muncul kabar mengenai gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap ketentuan pajak penghasilan (PPh) atas uang pensiun.
Bagi sebagian orang, isu ini dianggap sensitif: bagaimana mungkin negara masih menagih pajak dari hasil kerja seumur hidup seseorang? Namun, seperti banyak isu pajak lainnya, persoalan ini tidak sesederhana antara “tega” atau “tidak tega”.
Gugatan ke MK memang memantik emosi publik. Meski begitu, di balik gugatan itu, tersimpan isu yang jauh lebih mendasar: pemahaman publik yang belum utuh tentang skema pajak dana pensiun dan urgensi menyiapkan masa tua yang layak.
Indonesia sendiri saat ini tengah bergerak menuju fase penuaan penduduk. Badan Pusat Statistik (BPS) memprediksi 1 dari 5 penduduk Indonesia akan berusia di atas 60 tahun pada 2045. Populasi lanjut usia yang terus meningkat ini menandakan urgensi memiliki sistem perlindungan sosial dan tabungan pensiun yang kokoh.
Namun, faktanya, sebagian besar masyarakat Indonesia tidak memiliki jaminan pendapatan di masa pensiun. Dalam banyak kasus, mereka tetap bekerja di usia tua, mengandalkan dukungan keluarga, atau bahkan bergantung pada bantuan sosial pemerintah.
Sebagai gambaran, berdasarkan data BPS periode Agustus 2024, jumlah pekerja di Indonesia tercatat 144,6 juta orang. Dari jumlah itu, hanya 23,6 juta atau 16,32% yang terdaftar dalam program pensiun wajib. Artinya, ada 121 juta pekerja yang belum memiliki perlindungan hari tua.
Rendahnya kepesertaan pekerja tersebut juga berdampak terhadap total aset program dana pensiun. Berdasarkan data yang dihimpun Kementerian Keuangan, total aset program pensiun di Indonesia baru Rp1.509,99 triliun atau 6,8% dari PDB.
Rasio tersebut jauh tertinggal dibandingkan dengan negara-negara OECD seperti Amerika Serikat, Jepang, Jerman, Prancis, hingga Inggris. Indonesia bahkan kalah dengan negara tetangga Malaysia yang sudah mencatatkan aset program pensiun hingga di atas 60%.
“Artinya, kita mempunyai tantangan besar untuk bisa meningkatkan skala dan kedalaman aset dana pensiun kita untuk lebih berperan signifikan dalam menjamin kesehatan manusia sekaligus motor penggerak pembangunan jangka panjang Indonesia,” kata Direktur Pengembangan Dana Pensiun, Asuransi, dan Aktuaria Kementerian Keuangan Ihda Muktiyanto.
Melalui Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025–2045, pemerintah lantas menargetkan rasio aset dana pensiun mencapai 60% pada 2045. Artinya, dalam 2 dekade ke depan, Indonesia harus mengejar ketertinggalan hampir 9 kali lipat dari kondisi saat ini.
Target tersebut tentu sangat ambisius dan tidak mudah. Terlebih, literasi tentang pentingnya dana pensiun juga masih rendah. Belum lagi, sebagian besar peserta jaminan hari tua (JHT) memandang uang pensiun sebagai tabungan darurat, bukan dana jangka panjang.
Berdasarkan catatan BPJS Ketenagakerjaan, sebagian besar klaim JHT dilakukan di usia muda dan dilakukan dengan alasan resign. Lalu, sebagian klaim resign juga diyakini untuk kebutuhan mendesak, sebagian lagi bersifat konsumstif.
Meski begitu, rendahnya kepemilikan dana pensiun bukan hanya masalah perilaku individu, tapi juga mencerminkan belum optimalnya literasi masyarakat terkait dengan pentingnya jaminan sosial, termasuk aspek perpajakannya.
Dalam sistem PPh, perlakuan pajak atas manfaat pensiun tergolong kompleks. Menurut Ault, Arnold, dan Cooper (2025), hal itu dikarenakan penentuan basis pajak atas penghasilan pensiun melibatkan 3 faktor krusial.
Faktor tersebut, yaitu (i) apakah iuran dana pensiun bisa mengurangi pajak dan dikecualikan atau tidak? (ii) apakah hasil investasi dana pensiun dikecualikan dari pajak atau tidak? (iii) apakah pencairan uang pensiun dikenai pajak atau tidak?
Ketiga faktor tersebut menjadi pertimbangan terkait dengan adanya pola perpajakan yang berbeda atas penghasilan atau manfaat pensiun. Dalam praktik global, pola pemajakan dana pensiun bervariasi, misalnya di antara negara-negara OECD.
OECD mencatat setidaknya ada 7 model yang digunakan antara lain Exempt-Exempt-Taxed (EET), Taxed-Exempt-Exempt (TEE), Exempt-Taxed-Taxed (ETT), Taxed-Taxed-Exempt (TTE), Exempt-Exempt-Exempt (EEE), Exempt-Taxed-Exempt (ETE), dan Taxed-Exempt-Taxed (TEE).
Namun, dari sekian model pemajakan tersebut, model EET menjadi yang paling banyak dianut negara-negara OECD, yaitu 18 dari total 36 negara. Contoh negara yang menerapkan EET antara lain seperti AS, Inggris, dan Jepang.
Model tersebut berimplikasi terhadap 3 hal. Pertama, kontribusi dari pemberi kerja dan karyawan dapat menjadi pengurang pajak dan atas kontribusi yang diterima dana pensiun tersebut dikecualikan dari pajak (exempt). Kedua, hasil investasi dana pensiun dikecualikan dari pajak (exempt). Ketiga, tunjangan pensiun bagi penerimanya dikenai pajak (taxable).
Indonesia pun mengadopsi model EET tersebut. Namun, dalam praktiknya, Indonesia menganut varian EET terbatas. Hal ini bisa dilihat, terutama pada ketentuan perpajakan untuk fase pertama, yaitu atas iuran pensiun di mana perlakuan deductible-nya belum sepenuhnya mengatur untuk seluruh kalangan pekerja.
Secara eksplisit, Indonesia baru mengatur pemberi kerja dan pegawai tetap saja yang bisa memanfaatkan iuran pensiun sebagai pengurang penghasilan bruto. Dengan demikian, fasilitas exempt pada fase pertama ini cenderung selektif karena baru mengatur iuran pensiun yang menjadi pengurang penghasilan bruto untuk pemberi kerja atau pegawai tetap, dan belum mencakup kalangan pekerja bebas atau pekerja informal.
Kondisi ini tentu bisa menjadi perhatian pemerintah. Terlebih, struktur ketenagakerjaan Indonesia saat ini didominasi pekerja informal. Berdasarkan data BPS periode Agustus 2024, terdapat 83,8 juta pekerja informal atau 57,9% dari total 144,6 juta pekerja.
Dalam kondisi tersebut, fasilitas pajak atas iuran pensiun secara praktis belum menjangkau sebagian besar pekerja. Insentif pajak atas iuran pensiun baru efektif bagi pekerja formal yang menjadi peserta program pensiun.
Terlepas dari hal itu, sistem perpajakan dana pensiun di Indonesia secara umum menganut prinsip tax deferral atau penundaan pengenaan pajak—yakni pajak baru muncul ketika manfaat benar-benar diterima peserta.
Singkatnya, iuran tak dikenai pajak saat disetor, hasil investasi dikecualikan, dan pajak baru muncul saat dana dicairkan. Bisa dikatakan, pemerintah sebetulnya memberikan insentif 2 kali di awal agar masyarakat terdorong menabung, lalu memungut pajak ketika dana benar-benar dinikmati.
Dengan demikian, diskusi publik diharapkan jangan berhenti pada persepsi emosional, tetapi beranjak pada pemahaman rasional tentang bagaimana sistem perpajakan dan program pensiun saling berkaitan dalam menjaga keberlanjutan perlindungan hari tua.(rig)
