
MAHKAMAH Konstitusi (MK) menerima 2 permohonan uji materiil atas pemajakan pensiun dan pesangon. Keduanya terdaftar sebagai perkara No. 170/PUU-XXIII/2025 dan No. 186/PUU-XXIII/2025 yang diajukan oleh sejumlah karyawan swasta.
Dalam petitumnya, pemohon berpendapat bahwa Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 17 UU PPh bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 34 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945.
Pemohon menyatakan ketentuan dalam UU PPh tersebut tidak memiliki kekuatan hukum mengikat terhadap pesangon, uang pensiun, tunjangan hari tua (THT), dan jaminan hari tua (JHT). Selain itu, pemohon juga meminta MK agar memerintahkan pemerintah untuk tidak mengenakan pajak atas jenis-jenis penghasilan tersebut.
Tanpa bermaksud mengesampingkan perkara di atas, alangkah baiknya jika hal ini menjadi sebuah momentum refleksi tentang bagaimana idealnya sistem pemajakan pensiun diimplementasikan. Apakah ketentuan yang ada saat ini sudah ideal? Lebih lanjut, pembahasan artikel ini nantinya akan dikhususkan hanya pada aspek pemajakan atas pensiun.
Sektor dana pensiun sangat relevan dan krusial bagi kebijakan publik, terlebih bagi negara dengan bonus demografi seperti Indonesia. Meski demikian, seiring berjalannya waktu, hal ini juga perlu diwaspadai. Dalam waktu mendatang, Indonesia juga diperkirakan akan memasuki fase aging society yang ditandai dengan meningkatnya proporsi penduduk usia tua.
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), proporsi penduduk lanjut usia (penduduk berusia 60 tahun ke atas) pada 2024 tercatat sebesar 12% dan diproyeksikan mencapai 20,31% pada 2045. Meningkatnya persentase ini membuat rasio ketergantungan lansia terus meningkat hingga mencapai angka 17,76 pada 2024. Hal ini berarti bahwa sebanyak 100 penduduk usia produktif harus menanggung sekitar 17 penduduk lansia. Tentu, fenomena ini akan menambah beban ekonomi dari penduduk usia produktif itu sendiri.
Sejalan dengan itu, Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) dalam ‘OECD Economic Surveys: Indonesia 2024’ juga menegaskan bahwa Indonesia menghadapi dua tantangan secara bersamaan. Hal itu adalah bagaimana memanfaatkan bonus demografi sambil mempersiapkan sistem perlindungan sosial bagi populasi tua yang terus bertambah.
Pemerintah dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029 telah menargetkan rasio aset dana pensiun terhadap PDB mencapai 11,2% pada akhir 2029, naik dari sekitar 6-7% pada 2024. Ironisnya, kepesertaan dana pensiun formal di Indonesia masih tergolong rendah, yaitu di bawah 15% dari total angkatan kerja (OECD, 2024).
Melihat kenyataan ini, upaya mendorong partisipasi masyarakat secara luas akan jaminan sosial hari tua rasanya juga perlu ditopang dengan aspek pemajakan yang ideal. Hal itu dikarenakan aspek fiskal berperan besar sebagai instrumen penyedia jaminan dan keadilan sosial.
Saat membahas pemajakan atas dana pensiun, maka tidak bisa hanya dilihat saat manfaat pensiun tersebut diterima, tetapi harus dipahami sebagai sebuah sistem secara menyeluruh. Umumnya, sistem dan teori pengenaan pajak atas dana pensiun mengacu pada penentuan kapan dan bagaimana penghasilan terkait dana pensiun dikenakan pajak (Darussalam et al., 2025).
Ault, Arnold, dan Cooper (2025) menyebutkan, tahapan penting dalam pemajakan dana pensiun mencakup tiga aspek. Pertama, perlakuan pajak atas iuran/kontribusi. Kedua, perlakuan pajak atas hasil investasi. Ketiga, perlakuan pajak atas penarikan/distribusi manfaat pensiun.
Ketiga faktor di atas menjadi pertimbangan terkait adanya pola pemajakan yang berbeda atas tiap jenis aliran penghasilan pensiun. OECD menyatakan bahwa model pemajakan yang paling umum diterapkan yaitu exempt-exempt-taxable (EET). Hal ini berarti bahwa iuran dan hasil investasi dana pensiun dibebaskan dari pajak, sementara manfaat pensiun dikenakan pajak.
Model pemajakan EET dinilai mampu menyeimbangkan efisiensi ekonomi dengan kebutuhan fiskal, serta mendorong akumulasi tabungan pensiun tanpa mengganggu likuiditas peserta di masa produktif (OECD, 2018).
Lebih lanjut, OECD menyatakan bahwa adanya insentif berupa pengecualian pajak pada tahap iuran dan hasil investasi dapat mendorong partisipasi dalam dana pensiun.
Namun, tidak sedikit pula negara yang menerapkan kombinasi model pemajakan lain atas dana pensiun. Contoh, Bulgaria, Kolombia, dan Meksiko menerapkan model EEE di mana atas iuran, pengembalian investasi, dan manfaat pensiun, semuanya bebas pajak. Sementara itu, Austria menerapkan model pemajakan TET di mana iuran dan manfaat pensiun dikenakan pajak, sementara pengembalian investasi dibebaskan dari pajak, hingga batas tertentu (OECD, 2024).
Lebih lanjut, aspek pemajakan terhadap dana pensiun perlu ditempatkan secara proporsional agar tidak menurunkan nilai sosial dana pensiun sebagai instrumen perlindungan hari tua. Zee (2004) dalam ‘Taxing the Financial Sector: Concepts, Issues, and Practices’ menjabarkan beberapa prinsip yang perlu diperhatikan dalam pemajakan atas instrumen keuangan, tak terkecuali dana pensiun.
Pertama, keadilan dan perlindungan sosial. OECD (2010) menekankan perlunya keadilan dalam regulasi pensiun termasuk aspek perpajakan yang non-diskriminatif. Dalam tulisannya, Clements, Feher, dan Gupta (2017) turut menyatakan bahwa sistem pensiun harus memperhatikan keadilan secara vertikal maupun horizontal.
Sistem pemajakan dana pensiun perlu mencerminkan level playing field dalam perlindungan sosial hari tua. Hal ini dilakukan guna memastikan perlakuan setara bagi kelompok yang sama. Prinsip ini juga sejalan dengan teori kompensasi di mana kesetaraan perlakuan dan distribusi beban pajak yang adil menjadi tujuan utamanya (Scheve dan Stasavage, 2016).
Clements (2014) juga menyatakan bahwa sistem pemajakan pensiun sepatutnya memprioritaskan perlindungan dan keadilan daripada kebutuhan fiskal semata. Hal itu dilakukan dengan memastikan keadilan di berbagai tingkat pendapatan sambil menjaga keberlanjutan fiskal di masa mendatang.
Kedua, efisien dan minim distorsi. Dalam banyak penelitian dan hasil survei, model pemajakan ‘EET’ atas dana pensiun dianggap paling ideal karena dapat meminimalisasi distorsi ekonomi. Cremer dan Pestieau (2016) menyebutkan bahwa jika pajak dikenakan atas hasil investasi dari dana pensiun, cenderung menciptakan distorsi yang lebih besar dibandingkan ketika pajak dikenakan pada tahap penarikan manfaat.
Dengan menunda pajak hingga masa penarikan manfaat, model EET menciptakan skema tax deferral. Secara umum, tax deferral merujuk pada penundaan pemungutan pajak atas penghasilan yang secara ekonomi diperoleh oleh wajib pajak (IBFD, 2015). Hal ini menjadi insentif bagi peserta untuk menabung ketika masa produktif tanpa terbebani pajak di awal.
Ketiga, cakupan dan inklusivitas. Survei OECD (2024) menggambarkan bahwa negara-negara dengan sistem pemajakan dana pensiun yang baik tidak hanya mengandalkan kemudahan administrasi, tetapi juga merancang insentif pajak yang progresif dan inklusif. Kebijakan semacam ini dibutuhkan guna memberi fleksibilitas khususnya bagi pekerja swadaya dan profesional untuk menabung pensiun dengan insentif pajak yang menarik dan signifikan.
Contoh, Australia. Negara ini menerapkan skema low-income super tax offset (LISTO) hingga nominal tertentu bagi individu berpenghasilan rendah (ATO, 2025). Kebijakan ini membebaskan kelompok berpenghasilan rendah dari beban pajak atas iuran pensiun, disaat negara ini menganut model pemajakan TTE yang umumnya memajaki iuran atas dana pensiun.
Beberapa negara juga menerapkan additional tax deduction bagi orang pribadi yang secara swadaya membayar iuran pensiun dengan batasan tertentu. Misal, Kanada memberikan pengurangan pajak atas iuran sukarela ke registered retirement savings plan (RRSP) hingga persentase tertentu dari penghasilan tahun sebelumnya (OECD, 2024).
Di sisi lain, Jerman menerapkan skema Riester Pension, di mana pemerintah memberikan subsidi dasar dengan besaran tertentu bagi yang memenuhi syarat. Subsidi tersebut bebas pajak dan dirancang khusus untuk mendorong partisipasi kelompok berpenghasilan rendah sehingga memperluas cakupan kepesertaan secara inklusif.
Keempat, keberlanjutan, kepastian, dan keterjangkauan. Genser dan Holzmann (2015) turut menyoroti pentingnya konsistensi dalam pengenaan pajak atas dana pensiun untuk menciptakan predictability bagi peserta dan mencegah distorsi yang disebabkan oleh kebijakan yang tidak terencana. Ini guna memastikan bahwa kebijakan pemajakan memiliki landasan hukum yang kuat sehingga tidak mudah berubah untuk menjamin keberlanjutannya.
Holzmann, Hinz, dan Dorfman (2008) menyebut bahwa sistem pemajakan dana pensiun juga harus terjangkau sesuai dengan kemampuan finansial individu dan masyarakat, serta tidak menimbulkan konsekuensi fiskal yang memberatkan. Lebih lanjut, Zee (2004) menekankan pentingnya kepastian hukum dan transparansi dengan tidak memberikan ruang bagi interpretasi yang ambigu atau celah untuk melakukan penghindaran pajak.
Pada dasarnya, skema pemajakan dana pensiun di Indonesia menganut model EET. Di mana secara umum atas iuran dan hasil investasi dana pensiun dibebaskan dari pajak, sementara manfaat pensiun dikenakan pajak ketika diterima oleh peserta.
Berdasarkan Pasal 4 ayat (3) huruf 'g' UU PPh s.t.d.d UU HPP, iuran peserta dan/atau pemberi kerja dikecualikan dari objek pajak selama disetorkan ke dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh OJK, seperti dana pensiun lembaga keuangan (DPLK) dan dana pensiun pemberi kerja (DPPK). Atas iuran yang disetor oleh peserta kepada lembaga tersebut tidak dikenai pajak.
Tahap selanjutnya, pemajakan hasil investasi dana pensiun. Pasal 4 ayat (3) huruf 'h' UU PPh s.t.d.t.d. UU HPP menyebutkan bahwa penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun dalam bidang-bidang tertentu dikecualikan dari objek pajak (exempt). Dengan kata lain, pemajakan hasil investasi dana pensiun di Indonesia tidak dipajaki selama belum diterima manfaatnya oleh peserta.
Pengecualian pajak atas hasil investasi dijabarkan lebih lanjut dalam PMK 234/2009. Dalam beleid tersebut, atas penghasilan yang diterima dana pensiun dari penanaman modal dalam bentuk bunga, diskonto, imbalan dari deposito, sertifikat deposito, dan tabungan, pada bank di Indonesia yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan prinsip syariah, serta Sertifikat Bank Indonesia, dikecualikan dari objek pajak.
Pengecualian juga diberikan atas bunga, diskonto, dan imbalan dari obligasi, obligasi syariah (sukuk), surat berharga syariah negara (SBSN), dan surat perbendaharaan negara, yang diperdagangkan dan/atau dilaporkan perdagangannya pada bursa efek di Indonesia. Selain itu, penghasilan berupa dividen dari saham pada perseroan terbatas yang tercatat pada bursa efek di Indonesia juga dikecualikan.
Sejatinya, pengecualian atas jenis-jenis penghasilan tersebut merupakan langkah yang cukup progresif dari pemerintah dalam upaya mendorong partisipasi masyarakat terhadap dana pensiun. Hal ini turut menjadi insentif bagi pertumbuhan dana pensiun ke depan.
Kemudian, pada tahap realisasi manfaat pensiun, skema pemajakannya terbagi menjadi dua. Pembayaran sekaligus (lump sum) dan pembayaran berkala (bulanan atau tahunan). Merujuk pada Pasal 2 ayat (2) PMK 16/2010, penghasilan berupa uang manfaat pensiun dianggap dibayarkan sekaligus dalam hal sebagian atau seluruh pembayaran dilakukan dalam jangka waktu paling lama 2 tahun kalender.
Jika terdapat bagian pensiun yang masih dibayarkan setelah memasuki tahun ketiga dan seterusnya, maka penghasilan tersebut dikenakan pemotongan PPh Pasal 21 dan bersifat nonfinal sesuai Pasal 17 UU PPh (DDTCNews, 2025). Di sini berarti, manfaat pensiun yang diterima di luar jangka waktu 2 tahun pertama diperlakukan layaknya penghasilan biasa dan dikenai tarif progresif.
Berkaca dari negara lain, meski sama-sama memajaki manfaat pensiun, terdapat skema pengecualian tambahan atas manfaat pensiun yang diterima. Sebagai contoh, Austria menerapkan partial exemption sebesar 75% untuk manfaat pensiun yang berasal dari kontribusi tambahan sukarela dalam sistem pensiun publik. Artinya, hanya 25% dari manfaat pensiun tersebut yang dikenai pajak.
Lebih lanjut, untuk pembayaran sekaligus (lump sum) yang tidak melebihi nominal tertentu, hanya dikenakan pajak sebesar 50% dari tarif pajak normal yang berlaku di Austria. Hal ini juga dilakukan oleh Australia yang memberi keringanan berupa tarif sebesar 0% atas penarikan manfaat pensiun secara lump sum di bawah nominal tertentu. Ketentuan ini berlaku bagi individu yang berusia antara usia minimum pencairan manfaat hingga 60 tahun.
Indonesia menerapkan batasan nominal penghasilan yang dikenai PPh Pasal 21 yang bersifat final atas uang pensiun, THT, atau JHT. Atas penghasilan bruto sampai dengan Rp50 juta tarifnya sebesar 0% dan atas penghasilan bruto di atas Rp50 juta, tarifnya ditetapkan 5%. Pada dasarnya, ketentuan ini juga telah mencerminkan adanya threshold tertentu atas manfaat pensiun yang dikenai pajak. Lihat juga ‘Ketentuan PPh Pasal 21 atas Uang Pensiun yang Dibayar Sekaligus’.
Kembali bahwa salah satu tantangan terbesar di Indonesia saat ini adalah rendahnya cakupan kepesertaan dana pensiun formal. Dari sisi nonfiskal, untuk meningkatkan partisipasi tersebut juga dapat ditempuh melalui beberapa langkah seperti penerapan auto-enrolment, peningkatan literasi dan edukasi, hingga perbaikan tata kelola dan transparansi pengelolaan dana pensiun yang perlu terus didorong.
Di samping itu, pemerintah juga perlu menciptakan ekosistem perpajakan (fiskal) yang menarik, sehingga lebih banyak masyarakat ikut berpartisipasi dalam dana pensiun. Salah satu caranya yaitu dengan memperluas insentif fiskal melalui berbagai skema seperti tax deduction, tax credit, matching contribution, hingga threshold exemption yang tepat sasaran.
Contoh dari berbagai negara seperti Australia, Kanada, Jerman, hingga Austria, menunjukkan bahwa kombinasi instrumen fiskal yang beragam dan sesuai dapat menjadi solusi untuk menjaring lebih banyak peserta dari berbagai tingkat pendapatan. Tentu, dalam konteks ini, pemilihan kebijakan yang tepat perlu didasarkan pada kondisi dan kebutuhan di masing-masing negara.
Akhirnya, menjadi harapan kita semua bahwa sistem dana pensiun nantinya tidak hanya canggih secara administratif, tetapi juga adil, inklusif, dan berpihak pada kebutuhan sosial seluruh warganya.
Lalu, apakah skema pemajakan yang ada saat ini sudah benar-benar menjangkau tujuan yang diharapkan? Hal ini perlu menjadi refleksi semua pihak mengingat dana pensiun bukan sekadar produk keuangan, melainkan instrumen jaminan sosial di masa depan.
