
INDONESIA menempati peringkat kedua di dunia sebagai negara megabiodiversitas, di mana sebagian besar spesies yang ada di dunia dapat hidup berdampingan dalam satu ekosistem.
Berdasarkan karakteristik bentang alam, daerah aliran sungai (DAS), iklim, jenis flora dan fauna, serta budaya masyarakat dan kearifan lokal, Indonesia terbagi menjadi 7 wilayah ekoregion, yaitu ekoregion Sumatera, Jawa, Kalimantan, Bali-Nusa Tenggara, Sulawesi, Maluku, dan Papua.
Wilayah darat Indonesia sendiri menjadi rumah bagi 9,7% tumbuhan berbunga, 15% mamalia, 9% reptil, 6% amfibi, 17% burung, dan 9% ikan air tawar dunia. Di laut, wilayah Indonesia yang berada di segitiga terumbu karang menampung 16,6% ikan laut, 28,9% mamalia laut, 56% reptil, dan 10% karang dunia (Kementerian PPN/Bappenas, 2024).
Sering kita menyebut kekayaan hayati Indonesia sebagai ‘warisan dunia yang tak ternilai’. Namun, bagaimana jika warisan itu perlahan menyusut tanpa pernah kita sadari nilainya?
Pada 2024, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) merilis hasil pemantauan hutan menggunakan citra satelit Landsat dari BRIN. Dari 187 juta hektare daratan, hanya tersisa 95,5 juta hektare hutan (51,1%).
Angka itu terdengar masih kokoh, tetapi laporan yang sama menunjukkan adanya deforestasi netto seluas 175,4 ribu hektare dalam setahun terakhir, setara hampir 3 kali luas DKI Jakarta.
Sebagian besar deforestasi terjadi di hutan sekunder yang membutuhkan puluhan tahun untuk regenerasi. Hutan sekunder adalah napas kedua bagi alam. Dia perlu tumbuh kembali setelah terganggu oleh penebangan, kebakaran, atau pembukaan lahan.
Meskipun pemerintah melakukan reforestasi, namun laju kehilangan tutupan hutan masih lebih cepat daripada upaya pemulihannya. Apalagi, data satelit hanya membaca tutupan hijau, tanpa memastikan kualitas ekosistem yang sebenarnya. Kenyataan ini memberi pesan jelas: meski kebijakan berjalan, ekosistem tetap hilang sedikit demi sedikit.
Berbarengan dengan laju kerusakan alam yang seolah eksponensial, kebutuhan negara terhadap penerimaan juga mendesak. Program prioritas nasional seperti ketahanan pangan, energi, makan bergizi gratis, pendidikan, kesehatan, penguatan ekonomi rakyat, hingga modernisasi pertahanan menuntut tambahan sumber fiskal.
Di sisi lain, Indonesia telah berkomitmen melalui program FOLU Net Sink 2030 untuk memastikan sektor kehutanan dan penggunaan lahan menjadi penyerap karbon bersih. Komitmen ini selaras dengan agenda global mengatasi krisis iklim.
Karenanya, tanpa mekanisme fiskal yang menekan laju kerusakan, target-target di atas sulit tercapai.
Di sinilah muncul urgensi mencari instrumen pajak baru. Penulis menyodorkan mekanisme pemajakan atas hilangnya keanekaragaman hayati (biodiversity loss tax). Pajak ini tidak menyasar masyarakat atau memberatkan usaha produktif, melainkan aktivitas ekonomi yang merusak lingkungan.
Berbeda dengan pajak usaha biasa atau biaya izin lingkungan, biodiversity loss tax menekankan satu prinsip sederhana: pembayar adalah si perusak. Kepatuhan administratif seperti membayar pajak usaha atau mengantongi izin lingkungan tidak otomatis membebaskan dari pajak ini. Pajak berlaku saat habitat alami hilang akibat pembukaan lahan untuk perkebunan, pertambangan, atau pembangunan infrastruktur.
Dalam menyusun rencana pemajakan atas hilangnya keanekaragaman hayati, setidaknya ada 3 tujuan utamanya.
Pertama, rehabilitasi hutan dan lahan. Dana pajak ini untuk memperluas rehabilitasi hutan yang terdegradasi, bukan hanya dengan menanam pohon, tetapi memastikan jenis tanaman yang ditanam sesuai ekosistem aslinya.
Pajak ini juga dapat diarahkan untuk memperkuat program agroforestry, di mana pohon hutan hidup berdampingan dengan tanaman pertanian atau perkebunan, sekaligus memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat sekitar. Dengan begitu, pemulihan hutan sejalan dengan pembangunan ekonomi hijau.
Kedua, perlindungan masyarakat adat dan lokal. Riset menunjukkan bahwa hutan di bawah pengelolaan masyarakat adat cenderung lebih terjaga dibandingkan kawasan yang dikelola industri besar. Penerimaan pajak biodiversitas dapat diarahkan untuk memperkuat hak kelola, memberikan insentif ekonomi, dan mendukung praktik tradisional yang selaras dengan konservasi.
Ketiga, pembiayaan transisi menuju ekonomi hijau. Indonesia menghadapi dilema energi dan pangan. Pajak ini dapat menjadi modal untuk mendukung energi terbarukan, riset pertanian ramah lingkungan, serta penguatan ekonomi hijau lokal.
Pertanyaan selanjutnya adalah, beranikah pemerintah menegakkan pajak ini, terutama terhadap pelaku besar pembuka hutan? Implementasinya memang menantang. Namun, sejumlah kebijakan rehabilitasi yang telah berjalan menunjukkan komitmen nyata pemerintah.
Jika diterapkan secara transparan dan adil, negara bukan hanya memperoleh pendapatan, tetapi juga menjaga aset ekologis untuk generasi mendatang.
Pekerjaan rumah selanjutnya, pemerintah masih perlu menyusun pendekatan yang ideal untuk menentukan objek pengenaan pajak atas biodiversity loss tax ini. Perlu ada kajian mendalam untuk memastikan tidak ada pemajakan ganda yang diterima oleh pelaku industri.
Pada akhirnya, kerusakan hutan dan hilangnya keanekaragaman hayati tidak bisa dipandang sebagai konsekuensi yang 'wajar' dari pembangunan. Setiap hektare hutan yang hilang adalah kerugian ekologis, sosial, dan fiskal yang nyata.
Terakhir, pertanyaan terpenting adalah: siapkah kita menghitung hutan bukan sekadar kayu atau lahan, melainkan penopang hidup, penyimpan karbon, rumah keanekaragaman hayati, dan sumber penerimaan berkelanjutan bagi negara?
*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2025. Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan HUT ke-18 DDTC. Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp75 juta di sini.

