
BAYANGKAN sebuah mal megah di pusat kota. Etalasenya dipenuhi busana impor murah dengan harga yang jauh lebih murah ketimbang produk lokal. Tentu saja konsumen senang, bukan?
Namun, di balik banjirnya barang murah, muncul konsekuensi serius: negara berpotensi kehilangan penerimaan triliunan rupiah. Ya, penerimaan dari pajak impor dan bea masuk. Belum lagi, industri domestik yang ikut terdampak akibat serbuan produk impor, juga risiko hilangnya lapangan pekerjaan.
Meski cuma rekaan, tapi situasi di atas tak jauh berbeda dengan realitas sekarang. Karenanya, kita tetap perlu waspada dengan ancaman yang berpotensi muncul.
Banjir barang impor, khususnya produk tekstil, sejatinya juga berkaitan dengan aktivitas shadow economy. Penetrasi produk-produk impor di pasaran banyak yang tidak terjangkau dan terpantau otoritas pajak.
Untuk melihat seberapa serius implikasi dari serbuan produk impor, coba kita lihat datanya. Industry and Regional Research Bank Mandiri (2024) mengungkapkan adanya perbedaan statistik perdagangan tekstil dan garmen antara Indonesia dan China.
Statistik ekspor yang dicatat oleh China menunjukkan nilai jauh lebih besar dibandingkan dengan data impor versi Indonesia. Bank Mandiri melaporkan adanya potensi impor tak tercatat senilai Rp4,2 triliun.
Fakta tersebut diperkuat oleh temuan International Trade Center (ITC) yang menyebutkan bahwa dalam rentang 2004–2023, ekspor pakaian jadi dari China ke Indonesia mencapai US$6,9 miliar, sedangkan catatan Badan Pusat Statistik (BPS) hanya US$1,8 miliar. Selisihnya lebih dari US$5 miliar. Hal itu menunjukkan adanya dugaan praktik penyelundupan dalam skala besar.
Lalu, bagaimana praktik ini dapat berlangsung? Salah satu modus yang dominan adalah under invoice, yakni pencatatan nilai barang lebih rendah dari harga sebenarnya. Cara itu membuat bea masuk dan pajak dapat ditekan seminimal mungkin.
Selain itu, pembayaran impor juga dilakukan melalui jalur pengiriman uang ilegal, bahkan dengan menggunakan sistem tradisional seperti hawala yang sulit dilacak otoritas. Kombinasi mekanisme tersebut membuat arus barang dan dana beroperasi di luar kendali pemerintah, menimbulkan kerugian bagi penerimaan negara sekaligus menciptakan ketidakadilan bagi pengusaha yang patuh terhadap aturan.
Sebagai respons, Ditjen Pajak (DJP) mengambil langkah tegas melalui pemeriksaan bukti permulaan, bahkan hingga tahap penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan dan tindak pidana pencucian uang (TPPU).
Tindakan tegas itu juga mencakup perusahaan yang menggunakan rekening nominee maupun melakukan transaksi tunai bernilai besar. Hasilnya cukup signifikan. Dari satu kasus koreksi pajak saja, negara berhasil menambah penerimaan lebih dari Rp133 miliar. Selain itu, terdapat belasan wajib pajak lain yang masih dalam tahap pemeriksaan dengan potensi tambahan penerimaan hingga puluhan miliar rupiah.
Lebih jauh, strategi follow the money kini diandalkan sebagai senjata utama otoritas. DJP bersinergi dengan PPATK, lembaga perbankan, hingga otoritas pajak internasional dalam melacak arus dana lintas negara.
Transparansi aliran uang tidak hanya mempersempit ruang gerak praktik pencucian uang, tetapi juga menjadi pondasi bagi iklim investasi. Investor asing membutuhkan jaminan bahwa sistem fiskal Indonesia bersih, transparan, serta sulit untuk dimanipulasi.
Pada intinya, seluruh langkah tersebut bertujuan memperkuat sumber penerimaan negara yang berkelanjutan tanpa menimbulkan distorsi ekonomi. Penindakan praktik under invoice tidak hanya memberi tambahan penerimaan jangka pendek, tetapi juga memperluas basis pajak jangka panjang.
Sebagai contoh, pengukuhan puluhan wajib pajak baru ke dalam kategori pengusaha kena pajak (PKP) menciptakan fondasi fiskal yang lebih luas dan stabil. Industri domestik pun memperoleh keuntungan karena tidak lagi bersaing dengan barang impor ilegal.
Meski demikian, hambatan tetap ada. Walaupun Indonesia telah memiliki payung hukum seperti Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP), UU 8/2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, serta Peraturan Bank Indonesia No. 14/23/PBI/2012 tentang Transfer Dana, implementasi di lapangan masih menghadapi banyak kendala.
Permasalahan utama terletak pada keterbatasan sumber daya manusia (SDM) dan infrastruktur, lemahnya koordinasi antar lembaga penegak hukum, serta minimnya penerapan prinsip follow the money dalam penyelidikan kasus kompleks. Kondisi tersebut kerap dimanfaatkan oleh pelaku shadow economy.
Bahkan, pembuktian tindak pidana pencucian uang sering terhambat karena bergantung pada dakwaan tindak pidana asal. Oleh karena itu, reformasi hukum yang lebih adaptif terhadap modus kejahatan keuangan modern serta penguatan kapasitas institusi seperti PPATK menjadi kebutuhan mendesak.
Yang perlu dicatat, dalam menegakkan hukum, DJP seyogianya tidak menampilkan wajah represif. Dengan tetap menjaga kepastian hukum, otoritas pajak harus mengedepankan pendekatan yang ramah terhadap iklim usaha.
Prinsip yang dipegang adalah penegakan hukum yang sekaligus pro-pajak dan pro-investasi. Wajib pajak yang berniat kembali patuh diberi ruang melalui mekanisme program pengungkapan sukarela (PPS) atau pembetulan SPT. Dengan model ini, pengusaha tidak langsung dihadapkan pada sanksi pidana, tetapi diberi peluang memperbaiki kepatuhan.
Strategi ini mewujudkan level playing field, di mana pelaku usaha yang patuh memperoleh perlindungan, sementara mereka yang melanggar tetap berhadapan dengan hukum.
Pada akhirnya, kunci utama terletak pada kepastian penegakan hukum perpajakan. Negara tidak boleh memberi ruang bagi dominasi ekonomi bayangan. Dengan penegakan hukum yang konsisten, adil, dan transparan, penerimaan pajak dapat terus meningkat, iklim investasi tetap terjaga, serta industri nasional memperoleh perlindungan.
Pendekatan yang menyeimbangkan kepentingan pajak dan investasi inilah yang berpotensi membawa Indonesia menuju pertumbuhan ekonomi berkelanjutan, tanpa harus mengorbankan keadilan dan kepastian hukum.
*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2025. Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan HUT ke-18 DDTC. Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp75 juta di sini.
