JAKARTA, DDTCNews – Ditjen Pajak (DJP) menyebut wajib pajak badan tidak harus mengikuti format kode akun dalam Lampiran 1A hingga 1L SPT Tahunan PPh. Topik tersebut menjadi salah satu ulasan media nasional pada hari ini, Rabu (22/10/2025).
Direktur Teknologi Informasi dan Komunikasi DJP Hantriono Joko Susilo mengatakan kode akun pada Lampiran 1A hingga 1L SPT Tahunan PPh wajib pajak badan disusun untuk keperluan internal DJP dan tidak harus diikuti oleh wajib pajak.
"Itu untuk rekonsiliasi laporan keuangan. Dari wajib pajak nanti bisa memilih yang paling sesuai. Jadi tak harus ikut kita, tinggal pilih yang paling sesuai. Dari sisi kami, nanti akan rekonsiliasi keuangan sendiri, tidak perlu worry wajib pajaknya," katanya.
Sebagai informasi, lampiran 1A hingga 1L pada SPT Tahunan wajib pajak badan adalah lampiran khusus untuk melakukan rekonsiliasi laporan keuangan yang diperlukan untuk menghitung besarnya penghasilan kena pajak.
Setiap wajib pajak badan harus mengisi salah satu formulir lampiran dimaksud sesuai dengan sektor usahanya masing-masing. Misal, dalam hal wajib pajak badan bergerak pada sektor perdagangan, lampiran yang perlu diisi adalah Lampiran 1C.
Berbeda dengan Lampiran 8A-1 hingga 8A-8 SPT Tahunan PPh wajib pajak badan sebelum era coretax yang tidak dilengkapi kode akun, setiap akun laporan laba rugi yang perlu diisi dalam Lampiran 1A hingga 1L SPT Tahunan wajib pajak badan era coretax kini dilengkapi dengan kode akun.
Tak hanya itu, koreksi fiskal positif dan negatif juga harus dilaksanakan per akun serta diperinci dalam kolom penyesuaian fiskal positif dan kolom penyesuaian fiskal negatif.
Sebagai informasi, terdapat juga kolom kode penyesuaian fiskal yang perlu diisi oleh wajib pajak. Kode dimaksud antara lain FPO-01 hingga FPO-12 untuk koreksi fiskal positif dan FNE-01 hingga FNE-04 untuk koreksi fiskal negatif.
Selain topik di atas, ada pula ulasan mengenai kenaikan kontribusi pajak dari kelompok orang kaya. Lalu, ada juga bahasan perihal target pelaporan SPT Tahunan untuk tahun pajak 2025, perumusan regulasi pembatasan pembebanan atas biaya pinjaman, dan lain sebagainya.
SPT Tahunan wajib pajak orang pribadi dan wajib pajak badan kini tidak memiliki lampiran khusus untuk melakukan koreksi fiskal atas penghasilan neto komersial.
Merujuk pada Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-11/PJ/2025, koreksi fiskal positif maupun negatif langsung dilakukan pada bagian laporan laba rugi dalam lampiran rekonsiliasi laporan keuangan, yakni Lampiran 3A-1 hingga 3A-3 pada SPT Tahunan wajib pajak orang pribadi dan Lampiran 1A hingga 1L pada SPT Tahunan wajib pajak badan.
"Laporan laba rugi termasuk: penghasilan yang dikenakan PPh yang bersifat final; penghasilan yang tidak termasuk objek pajak; penyesuaian fiskal positif atas penghasilan dan biaya komersial; penyesuaian fiskal negatif atas penghasilan dan biaya komersial; penghasilan neto fiskal sebelum fasilitas pajak," bunyi Lampiran H PER-11/PJ/2025. (DDTCNews)
Rencana pemerintah untuk tidak menaikkan tarif cukai hasil tembakau (CHT) dan harga jual eceran (HJE) rokok tahun depan dinilai tidak serta merta membuat penerimaan kepabeanan dan cukai 2026 surut.
Ketua Komisi XI DPR Mukhamad Misbakhun menilai jika tarif CHT dan HJE rokok tidak dinaikkan, justru industri hasil tembakau (IHT) lega karena tidak ada tambahan beban. Alhasil, industri bisa lebih berkembang dan mendongkrak produksi atau penjualannya.
"Jangan dianggap kalau tarif CHT tidak naik itu kemudian penerimaan bisa turun. Bisa saja ketika pemerintah tidak menaikkan tarif, kemudian industri menjadi tumbuh. Tentunya kan basisnya akan menjadi lebih lebar," ujarnya. (DDTCNews)
Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengeklaim kontribusi penerimaan pajak dari kelompok wajib pajak yang masuk dalam lapisan tarif PPh sebesar 35%, meningkat dari tahun ke tahun.
Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Pajak Yon Arsal mengatakan seiring dengan jumlah wajib pajaknya bertambah, kontribusi penerimaan pajak dari kelompok wajib pajak tersebut juga ikut meningkat.
"Kita lihat dari tahun ke tahun peningkatan jumlah orang yang mempunyai penghasilan dengan tarif PPh tertinggi, yaitu 35%, menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan," klaim Yon. (DDTCNews)
DJP menargetkan pelaporan SPT Tahunan PPh tahun pajak 2025 mencapai 14,5 juta SPT. Jumlah tersebut turun dari target pelaporan SPT Tahunan tahun pajak 2024 sebanyak 16,21 juta SPT.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Humas DJP Rosmauli mengatakan target tersebut berasal dari pelaporan SPT wajib pajak orang pribadi sekitar 13,5 juta SPT dan sisanya sekitar 1 juta wajib pajak badan.
"Jadi, untuk target SPT tahun pajak 2025 kurang lebih 14,5 juta. Ini [targetnya] kami hitung berdasarkan SPT yang masuk untuk tahun pajak 2023-2024 yang disampaikan tahun ini," katanya. (DDTCNews/Kontan)
Kemenkeu sedang menyiapkan regulasi mengenai pembatasan pembebanan biaya pinjaman dengan menggunakan rasio biaya pinjaman terhadap EBITDA seusai menerima banyak masukan dari para pemangku kepentingan.
Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Pajak Yon Arsal mengatakan Kemenkeu telah berulang kali menyelenggarakan meaningful participation dengan beberapa wajib pajak mengenai instrumen pembatasan biaya pinjaman dimaksud.
"Jadi, saya pikir kita segera proses administrasi penyelesaian peraturan menteri keuangan (PMK), mudah-mudahan segera bisa kita terbitkan," katanya. (DDTCNews)
DPR mendukung langkah Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa untuk melakukan tindakan tegas terhadap pegawai dari DJP dan Ditjen Bea dan Cukai (DJBC) yang melakukan penyelewengan.
Ketua Komisi XI Mukhamad Misbakhun menegaskan instansi seperti DJP dan DJBC yang bertugas mengelola keuangan negara harus bersih dari tindak kecurangan dan fraud. Apabila pegawai tidak bisa dibina dan melakukan penyelewengan, sebaiknya segera ditindak.
"Saya setuju upaya itu karena yang dibutuhkan oleh Pak Purbaya adalah pegawai yang bersih. Mengelola keuangan negara itu butuh pegawai yang bersih," ujarnya. (DDTCNews)
DJP menyiapkan langkah-langkah untuk membatasi pencairan restitusi sekaligus memastikan restitusi ini benar-benar diterima oleh wajib pajak yang berhak.
Dirjen Pajak Bimo Wijayanto mengatakan DJP berkomitmen mencairkan restitusi sesuai dengan jangka waktu yang berlaku dalam hal wajib pajak menyampaikan SPT berstatus lebih bayar ataupun bila permohonan keberatan, banding, dan peninjauan kembali (PK) wajib pajak dikabulkan.
"Tentu hak wajib pajak kalau sudah due date di SPT lebih bayar akan kami berikan, termasuk refund dari keberatan, banding, dan PK. Kalau memang itu dimenangkan oleh wajib pajak dan ada hak dari wajib pajak yang harus dikembalikan, itu akan kami kembalikan on time," tuturnya. (DDTCNews)