JAKARTA, DDTCNews - Ditjen Bea dan Cukai (DJBC) telah membongkar jalur distribusi rokok ilegal yang diperdagangkan melalui e-commerce dan menyita barang bukti.
Dalam penyelesaian kasus rokok ilegal tersebut, DJBC mengedepankan pemulihan kerugian pendapatan negara melalui prinsip ultimum remedium atau sanksi pidana sebagai upaya terakhir dalam menangani pelanggaran di bidang cukai.
"Kemarin ada yang sudah bayar [denda atas nilai cukai yang seharusnya dibayar], yang paling besar gudangnya, itu sampai Rp500 juta untuk ultimum remedium," ujar Direktur Komunikasi dan Bimbingan Pengguna Jasa DJBC Nirwala Dwi Heryanto, dikutip pada Sabtu (27/9/2025).
Nirwala menyampaikan dalam sepekan terakhir, DJBC telah melakukan penindakan terhadap 4 pedagang online di marketplace yang menjual rokok ilegal yang berlokasi di Jakarta dan Jawa Barat. Namun, penindakan ini dihadapkan pada beberapa tantangan.
Misal, pedagang rokok ilegal di marketplace biasanya menyamarkan barang dagangnya dengan memajang gambar barang selain rokok.
"Memang ini sulit, karena tidak dijual langsung dalam bentuk rokok, tapi bentuk lain seperti kaos, mouse untuk game, keyboard, sendal, tapi kalau diklik sebetulnya yang dijual itu rokok," terang Nirwala.
DJBC biasanya melakukan penelusuran (tracing) rokok ilegal dengan cara memesan dan membeli rokok di marketplace yang dituju. Setelah itu, petugas mengikuti jalur distribusi rokok serta menggerebek gudang lokasi produksi rokok ilegal.
Nirwala melaporkan ada 4 pedagang online yang ditelusuri dan ditindak. Dari penindakan itu, petugas menyita 1 slop rokok elektrik (REL) ilegal; 59 bungkus rokok tanpa pita cukai; 78 bungkus REL tanpa pita cukai; 79 bungkus cerutu ilegal; serta 1.028 slop rokok ilegal.
Dari kasus tersebut, DJBC mencatat nilai denda melalui mekanisme ultimum remedium yang dibayarkan oleh 2 pedagang online senilai total Rp20,49 juta.
"Untuk penindakan-penindakan kecil ini, kita terapkan restorative justice," kata Nirwala.
UU Cukai yang direvisi dengan UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) mengatur penyesuaian sanksi administratif dalam upaya pemulihan kerugian pendapatan negara pada saat penelitian dan penyidikan.
Beleid itu menyatakan pejabat DJBC berwenang melakukan penelitian atas dugaan pelanggaran di bidang cukai. Jika hasil penelitian menunjukkan pelanggaran yang dimaksud bersifat pelanggaran administratif di bidang cukai, penyelesaiannya dapat dilakukan melalui pembayaran sanksi administratif.
Penelitian atas dugaan pelanggaran hanya dibatasi pada 5 pasal, yaitu Pasal 50, Pasal 52, Pasal 54, Pasal 56, dan Pasal 58 UU Cukai. Kelimanya menyangkut pelanggaran perizinan, pengeluaran barang kena cukai (BKC), BKC tidak dikemas, BKC yang berasal dari tindak pidana, dan jual beli pita cukai.
Hasil penelitian yang tidak berujung pada penyidikan mewajibkan pelaku untuk membayar sanksi administratif berupa denda sebesar 3 kali jumlah cukai yang seharusnya dibayar.
Terkait dengan ketentuan teknis penerapan prinsip ultimum remedium terhadap pelanggaran di bidang cukai pada tahap penelitian, Kemenkeu telah menerbitkan PMK 237/2022.
Kemudian, perubahan juga berlaku untuk Pasal 64 UU Cukai yang terkait dengan pemulihan kerugian pendapatan negara pada tahap penyidikan. Dalam ketentuan sebelumnya, penghentian penyidikan mewajibkan pembayaran pokok cukai ditambah sanksi denda 4 kali cukai kurang dibayar.
Namun, melalui UU HPP, ketentuan tersebut diubah. Pemulihan kerugian pendapatan negara saat tahap penyidikan dilakukan dengan membayar sanksi denda sebesar 4 kali nilai cukai yang seharusnya dibayar.
Sebagai peraturan pelaksana terkait dengan penerapan ultimum remedium terhadap pelanggaran di bidang cukai pada tahap penyidikan, telah diterbitkan PP 54/2023 dan PMK 165/2023. (dik)