JAKARTA, DDTCNews - Dirjen Pajak Bimo Wijayanto menerbitkan peraturan terbaru, yaitu PER-18/PJ/2025, tentang tindak lanjut atas data konkret. Topik tersebut menjadi salah satu ulasan media nasional pada hari ini, Jumat (26/9/2025).
Sesuai dengan PMK 15/2025, data konkret menjadi salah satu faktor untuk dilakukannya pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan. Nah, PER-18/PJ/2025 dirilis untuk memberikan kepastian hukum serta akuntabilitas atas tindak lanjut data konkret tersebut.
“Bahwa untuk memberikan kepastian hukum dan kemanfaatan dalam meningkatkan kepatuhan wajib pajak serta akuntabilitas dalam menindaklanjuti data konkret perlu mengatur ketentuan mengenai tindak lanjut atas data konkret,” bunyi salah satu pertimbangan PER-18/PJ/2025.
Merujuk pada Pasal 4 ayat (2) PMK 15/2025 dan Pasal 2 ayat (1) PER-18/PJ/2025, data konkret merupakan data yang diperoleh atau dimiliki oleh Ditjen Pajak (DJP). Data konkret tersebut dapat berupa 3 bentuk.
Pertama, faktur pajak yang sudah memperoleh persetujuan melalui sistem informasi milik DJP, tetapi belum atau tidak dilaporkan oleh wajib pajak pada SPT Masa Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang memerlukan pengujian secara sederhana.
Kedua, bukti pemotongan atau pemungutan Pajak Penghasilan (PPh) yang belum atau tidak dilaporkan oleh penerbit bukti pemotongan atau pemungutan pada SPT Masa PPh.
Ketiga, bukti transaksi atau data perpajakan yang dapat digunakan untuk menghitung kewajiban perpajakan wajib pajak. Melalui PER-18/PJ/2025, dirjen pajak pun memerinci 8 bentuk bukti transaksi atau data perpajakan yang termasuk data konkret.
PER-18/PJ/2025 menegaskan data konkret tersebut akan ditindaklanjuti dengan pengawasan dan/atau pemeriksaan. Apabila data konkret ditindaklanjuti dengan pemeriksaan maka pemeriksaan tersebut dilakukan dengan pemeriksaan spesifik sesuai dengan ketentuan PMK 15/2025.
Ringkasnya, PER-18/PJ/2025 memerinci apa saja bukti transaksi atau data perpajakan yang tergolong sebagai data konkret. Selain itu, PER-18/PJ/2025 menegaskan kembali bahwa data konkret yang diperoleh DJP bisa ditindaklanjuti dengan pemeriksaan spesifik.
Perlu diketahui, pemeriksaan spesifik adalah pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan yang dilakukan secara spesifik atas satu atau beberapa pos dalam SPT dan/atau Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP), data, atau kewajiban perpajakan tertentu secara sederhana.
Selain topik di atas, ada pula ulasan mengenai dukungan DJP terhadap pembentukan Konvensi Pajak PBB. Lalu, ada juga bahasan terkait dengan NPWP sementara, tax holiday, penolakan AS terhadap Pilar 1 OECD, dan lain sebagainya.
Data dari ketetapan, keputusan pajak, ataupun putusan sengketa pajak yang bersifat inkrah juga dikategorikan sebagai data konkret berupa data perpajakan yang dapat digunakan untuk menghitung kewajiban perpajakan wajib pajak dengan pengujian yang sederhana.
Mengingat data dari ketetapan, keputusan, atau putusan adalah data konkret, Ditjen Pajak (DJP) bisa langsung menggunakan data tersebut untuk melakukan pengawasan atau pemeriksaan.
"Bukti transaksi atau data perpajakan...dapat berupa...data dan/atau keterangan yang bersumber dari ketetapan dan/atau keputusan di bidang perpajakan dan/atau putusan atas sengketa penerapan ketentuan peraturan perundangan-undangan di bidang perpajakan, yang bersifat inkrah, yang dapat langsung digunakan untuk menghitung kewajiban perpajakan yang tidak atau kurang dilaporkan oleh wajib pajak dalam SPT," bunyi Pasal 2 ayat (2) huruf g PER-18/PJ/2025. (DDTCNews)
Director of DDTC Fiscal Research and Advisory B. Bawono Kristiaji menilai qualified refundable tax credit (QRTC) berpotensi menjadi model insentif pajak baru yang lebih sesuai dengan ketentuan Global Anti-Base Erosion (GloBE) ketimbang tax holiday.
Dampak QRTC terhadap effective tax rate (ETR) juga lebih kecil karena QRTC dianggap menambah penghasilan dan bukan mengurangi pajak. Beberapa negara tetangga juga sudah mulai melangkah ke skema insentif berbasis pemberian cash tersebut.
“Jadi ini beda dengan tax holiday yang nilainya itu digunakan sebagai pengurang pajak. Dengan demikian, risiko adanya pengenaan top-up tax bagi perusahaan yang memanfaatkan QRTC juga lebih kecil,” katanya. (Kontan)
Pemotong pajak perlu memperhatikan konsekuensi penggunaan NPWP Sementara terutama dalam pembuatan bukti potong bulanan (Bukti Potong Monthly Payment/BPMP) pegawai tetap.
NPWP Sementara merupakan solusi sementara yang dapat dipakai dalam pembuatan Bupot jika NIK penerima penghasilan belum terdaftar pada sistem coretax. Namun, DJP mengingatkan konsekuensi atas penggunaan NPWP Sementara tersebut.
“Perlu diingat penggunaan NPWP sementara memiliki konsekuensi, yaitu bukti potong yang dibuat tidak akan terkirim ke akun wajib pajak penerima penghasilan sehingga tidak akan masuk (tidak akan ter-prepopulated) ke SPT Tahunan penerima penghasilan,” jelas DJP. (DDTCNews)
DJP mendukung pembentukan Konvensi Pajak PBB atau UN Tax Convention. Hal ini disampaikan DJP dalam dialog bertajuk Asia Pacific Contribution on International Tax System: Current UN Tax Convention Negotiation and Beyond yang diselenggarakan oleh The Prakarsa
Direktur Perpajakan Internasional DJP Mekar Satria Utama mengatakan selama ini DJP dan Ditjen Strategi Ekonomi dan Fiskal (DJSEF) bersama tim di Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) turut serta dalam pembahasan UN Tax Convention di PBB.
"Indonesia bagian dari yang mendukung ini. Kita secara spesifik menyatakan kita akan mendukung ini. Mekanismenya, kita menjadi bagian dari tim Kemenlu yang ikut memberikan masukan. Untuk isu pajak, itu Kemenkeu melalui DJSEF atau DJP," katanya. (DDTCNews)
Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa mengatakan pemerintah masih mengandalkan insentif pajak, seperti tax holiday dan supertax deduction, dalam mendorong pertumbuhan ekonomi pada tahun depan.
Menurutnya, insentif pajak, seperti tax holiday, diberikan untuk membangun dan mengembangkan kawasan ekonomi khusus (KEK). Menurutnya, KEK dapat menjadi pusat industri yang terintegrasi, dan memberikan nilai tambah besar bagi ekonomi Indonesia.
"Pemerintah juga tetap menyediakan berbagai insentif fiskal seperti tax holiday, super tax deduction untuk riset dan pelatihan," katanya dalam Rapat Paripurna pengesahan RUU APBN 2026 menjadi undang-undang. (DDTCNews/Kontan)
Pemerintah terancam tidak bisa memajaki perusahan jasa digital raksasa seperti Netflix hingga Meta (Facebook, Instagram, WhatsApp) seusai Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump menolak penerapan Pilar 1 Pajak Global yang diinisiasi OECD.
Direktur Perpajakan Internasional DJP Mekar Satria Utama menjelaskan Indonesia ikut konvensi pajak global OEC untuk mengadopsi 2 pilar. Untuk Pilar 2, Indonesia telah menerapkannya sejak awal 2025 melalui PMK 136/2024. Namun, untuk Pilar 1 tak kunjung terealisasi.
"Pilar 1 ini kan bicara mengenai multilateral, yang harus mendapatkan persetujuan. Salah satunya di dalam multilateral ialah AS harus endorse, dia harus menjadi bagian yang menandatangani. Trump bilang tidak masuk, sehingga agak sulit," tuturnya. (Bisnis Indonesia)