LAPORAN FOKUS

Seperti Apa Benchmark Belanja Perpajakan di Indonesia dan Negara Lain?

Muhamad Wildan
Jumat, 26 September 2025 | 15.25 WIB
Seperti Apa Benchmark Belanja Perpajakan di Indonesia dan Negara Lain?
<p>Ilustrasi.</p>

TAK sedikit yurisdiksi yang kini memublikasikan laporan belanja perpajakan (tax expenditure) secara rutin guna meningkatkan transparansi fiskal sekaligus mempertanggungjawabkan insentif perpajakan yang telah diberikan.

Merujuk pada data yang dipublikasikan oleh Global Tax Expenditures Database (GTED), sudah ada 111 yursidiksi yang merilis laporan belanja perpajakan kepada publik.

Meski pelaporannya sudah menjadi tren global, definisi belanja perpajakan masih belum ada yang disepakati secara global. Akibatnya, setiap yurisdiksi memiliki definisi belanja perpajakannya masing-masing.

Secara umum, belanja perpajakan adalah ketentuan khusus yang berbeda dari sistem pemajakan secara umum (benchmark tax system). Dengan demikian, untuk mengidentifikasi apakah suatu kebijakan bisa dikategorikan sebagai belanja perpajakan, yurisdiksi perlu terlebih dahulu menentukan apa yang dimaksud dengan benchmark tax system.

Apabila benchmark sudah ditetapkan, barulah yurisdiksi bisa mengidentifikasi apa saja kebijakan-kebijakan yang merupakan deviasi dari benchmark sehingga bisa dikategorikan sebagai belanja perpajakan.

Mengingat setiap yurisdiksi memiliki definisi benchmark yang berbeda-beda, kebijakan-kebijakan yang diidentifikasi sebagai deviasi atas benchmark pun bakal berbeda-beda pula. Tak mengherankan jika setiap yurisdiksi memiliki cakupan pelaporan belanja perpajakan yang bervariasi.

Contoh, suatu kebijakan pajak yang sama bisa dianggap sebagai deviasi dari benchmark oleh suatu yurisdiksi, tetapi dianggap sebagai bagian dari benchmark oleh yurisdiksi yang lain.

"Hal ini terjadi karena dalam praktiknya benchmark yang menjadi dasar untuk mengidentifikasi deviasi dalam sistem perpajakan sesungguhnya bermasalah, kontroversial, dan bersifat politis," ungkap Mark Burton dan Kerrie Sadiq dalam Tax Expenditure Management: A Critical Assessment.

Oleh karena itu, tidak mengherankan bila setiap yurisdiksi dengan benchmark tax system yang berbeda-beda bakal memiliki cakupan pelaporan belanja perpajakan yang bervariasi.

Secara umum, terdapat 2 tujuan utama yurisdiksi dalam mengidentifikasi belanja perpajakan. Pertama, mendorong terciptanya efisiensi dalam sistem pajak dan mendukung proses penganggaran. Kedua, memantik partisipasi publik atas kebijakan pajak yang ditetapkan oleh pemerintah dan biaya fiskal dari kebijakan tersebut.

Tujuan yurisdiksi dalam mengidentifikasi belanja perpajakan nantinya akan memengaruhi kebijakan yurisdiksi dalam menetapkan benchmark yang menjadi acuan dalam mengidentifikasi belanja perpajakan.

Pada akhirnya, setiap negara memiliki kebebasan dalam menentukan definisi dari benchmark tax system serta ruang lingkup dari belanja perpajakan yang diidentifikasi dan dilaporkan.

Ruang lingkup tersebut akan memengaruhi persepsi publik tentang transparansi pemerintah, akuntabilitas dalam pemberian fasilitas, kredibilitas fiskal, serta kehadiran pemerintah dalam menciptakan ruang ekonomi bagi masyarakat.

Berikut benchmark tax system yang digunakan oleh berbagai yurisdiksi untuk mengidentifikasi belanja perpajakan, khususnya benchmark PPh dan PPN:

Indonesia

Merujuk pada laporan belanja perpajakan yang dirilis oleh Ditjen Strategi Ekonomi dan Fiskal (DJSEF), benchmark PPh adalah penghasilan residen maupun nonresiden yang dikenai PPh dengan tarif sebagaimana diatur dalam Pasal 17 ayat (1), (2), dan (2a) UU PPh.

Deviasi dari benchmark di atas merupakan belanja perpajakan. Meski demikian, terdapat beberapa 3 deviasi yang tidak dikategorikan sebagai belanja perpajakan.

Pertama, perlakuan khusus yang bertujuan untuk memudahkan administrasi perpajakan seperti PPh final atas deposito dan penggunaan norma penghitungan penghasilan neto (NPPN) untuk wajib pajak orang pribadi tertentu.

Kedua, perlakuan khusus yang diadakan dalam rangka mengikuti konvensi akuntansi seperti pernyataan standar akuntansi keuangan (PSAK) seperti perlakuan pajak atas pemupukan dana cadangan untuk bank dan asuransi.

Ketiga, perlakuan khusus untuk mendukung fungsi pemerintahan atau melaksanakan perjanjian internasional yang bersifat resiprokal seperti penurunan tarif pajak sebagaimana disepakati dalam persetujuan penghindaran pajak berganda (P3B).

Perlu diketahui, benchmark PPN adalah seluruh barang/jasa yang merupakan objek PPN kecuali yang sudah dikenai pajak daerah serta dikenai PPN dengan tarif umum.

Deviasi atas benchmark di atas merupakan belanja perpajakan. Namun, terdapat 5 deviasi dalam sistem PPN Indonesia yang tidak dikategorikan sebagai belanja perpajakan.

Pertama, perlakuan khusus yang berlaku atas konsumsi akhir yang dilakukan oleh pemerintah. Kedua, perlakuan khusus yang diberikan atas intermediary process. Ketiga, perlakuan khusus yang sudah menjadi kelaziman internasional dan berlaku secara resiprokal.

Keempat, perlakuan khusus yang tujuan utamanya adalah mempermudah administrasi perpajakan. Kelima, perlakuan khusus berupa pengecualian PPN atas investasi dalam bentuk uang, emas batangan, dan surat berharga.

Kanada

Merujuk pada Report on Federal Tax Expenditures tahun 2025 yang dirilis Kementerian Keuangan Kanada, benchmark PPh dalam pelaporan belanja perpajakan Kanada adalah penghasilan dari mayoritas sumber, termasuk dari pekerjaan, pensiun, laba usaha, capital gains, dan transfer dari pemerintah, yang dikenai PPh sesuai dengan tarif umum yang berlaku bagi wajib pajak orang pribadi dan badan.

Perlakuan-perlakuan khusus yang diberlakukan untuk menghapuskan pemajakan berganda juga dikategorikan sebagai bagian dari benchmark PPh.

Tak hanya itu, perlakuan pajak yang bertujuan untuk mencegah penghindaran pajak juga dianggap sebagai bagian dari PPh.

Sementara itu, benchmark PPN dalam pelaporan belanja perpajakan Kanada adalah konsumsi barang dan jasa di Kanada yang dikenai PPN dengan tarif sebesar 5%.

Dengan benchmark PPh dan PPN di atas, Kanada membagi belanja perpajakan ke dalam 8 kategori utama. Pertama, pengecualian pajak bagi wajib pajak tertentu, seperti pengecualian pajak bagi organisasi nonprofit.

Kedua, pengecualian PPh atas penghasilan tertentu, seperti pengecualian pajak atas capital gains atas aset tertentu yang disumbangkan. Ketiga, pengecualian PPN atas konsumsi barang tertentu, seperti pengecualian PPN atas jasa kesehatan dan keuangan.

Keempat, tarif pajak yang lebih rendah dari benchmark, seperti pemberlakuan tarif pajak khusus bagi usaha kecil. Kelima, kredit pajak dan rebate, seperti fasilitas kredit pajak bagi wajib pajak orang pribadi yang mengeluarkan biaya pengobatan di atas rata-rata.

Keenam, ketentuan khusus yang memungkinkan pemindahan atribut pajak antarwajib pajak atau memperluas unit of taxation. Ketujuh, ketentuan khusus yang memungkinkan wajib pajak untuk melakukan penyusutan dipercepat.

Kedelapan, ketentuan khusus yang memperbolehkan wajib pajak untuk membebankan biaya yang tidak berkaitan dengan perolehan penghasilan.

Inggris

Berbeda dari Indonesia dan Kanada yang memiliki benchmark untuk mengidentifikasi belanja perpajakan, Inggris membagi belanja perpajakan ke dalam 2 kategori yakni structural relief dan nonstructural relief.

Meski demikian, Inggris tidak memberikan definisi yang jelas mengenai apa yang dimaksud dengan structural relief dan nonstructural relief.

Menurut otoritas pajak Inggris, structural relief adalah keringanan pajak yang merupakan bagian integral dari sistem pajak. Structural relief diberlakukan untuk menentukan nilai penghasilan yang dikenai pajak.

Contoh kebijakan khusus yang dikategorikan sebagai structural relief ialah personal allowance atau penghasilan tidak kena pajak (PTKP), personal dividend allowance atau dividen tidak kena pajak, hingga pengecualian PPN atas berbagai barang dan jasa.

Yang dimaksud dengan nonstructural relief adalah keringanan pajak yang didesain untuk mendukung tercapainya target ekonomi atau sosial tertentu.

Insentif pajak yang merupakan nonstructural relief antara lain pengecualian PPh atas pensiun yang diterima oleh pensiunan tentara yang cacat karena perang, tambahan personal allowance bagi orang buta, kredit pajak bagi wajib pajak yang mengeluarkan biaya litbang, hingga pengecualian pajak warisan atas aset pertanian. (rig)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Ingin selalu terdepan dengan kabar perpajakan terkini?Ikuti DDTCNews WhatsApp Channel & dapatkan berita pilihan di genggaman Anda.
Ikuti sekarang
News Whatsapp Channel
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.