JAKARTA, DDTCNews - Indonesia telah memenangkan sengketa perdagangan dengan Uni Eropa (UE) terkait dengan penerapan countervailing duties atau bea masuk imbalan atas impor produk biodiesel asal Indonesia.
Panel Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO) menyatakan kebijakan Uni Eropa tidak konsisten dengan ketentuan Perjanjian Subsidi dan Anti-Subsidi WTO atau WTO Agreement on Subsidies and Countervailing Measures (ASCM) pada sejumlah aspek kunci. Menteri Perdagangan Budi Santoso mengatakan hasil ini menegaskan komitmen Indonesia dalam menjunjung aturan perdagangan internasional.
"Kami mendesak Uni Eropa segera mencabut bea imbalan yang terbukti tidak sesuai aturan WTO," katanya, Senin (25/8/2025).
Budi mengatakan kemenangan ini membuktikan Indonesia konsisten mematuhi aturan WTO tanpa memberlakukan kebijakan yang bersifat distortif terhadap perdagangan global, sebagaimana dituduhkan oleh Uni Eropa.
Panel WTO dalam kasus DS618 menilai pengenaan bea imbalan oleh Komisi Uni Eropa melanggar Perjanjian Subsidi dan Anti-Subsidi WTO. Sebelumnya, Komisi Uni Eropa beralasan Indonesia memberikan subsidi kepada produsen biodiesel melalui kebijakan penyediaan bahan baku, pengenaan bea keluar, pungutan ekspor, serta penetapan harga acuan minyak kelapa sawit yang dinilai menyebabkan distorsi harga di pasar.
Panel DS618 beranggotakan perwakilan dari Afrika Selatan, Meksiko, dan Belgia. Putusan ini diharapkan membuka jalan bagi Indonesia untuk memperkuat akses pasar biodiesel di Eropa sekaligus menunjukkan konsistensi pemerintah dalam melindungi kepentingan perdagangan nasional melalui jalur hukum internasional.
Budi kemudian memerinci sejumlah aspek kunci kemenangan Indonesia dalam DS618. Pertama, Panel WTO menolak argumen Uni Eropa yang mengeklaim pemerintah Indonesia mengarahkan pelaku usaha untuk menjual minyak kelapa sawit kepada produsen biodiesel dengan harga rendah.
Komisi Uni Eropa berargumen subsidi dalam bentuk arahan dan perintah dari pemerintah Indonesia kepada pelaku usaha di sektor minyak kelapa sawit bertujuan menyediakan bahan baku dengan harga yang menguntungkan produsen biodiesel Indonesia.
Kedua, Panel WTO menilai kebijakan pemerintah Indonesia terkait bea keluar dan pungutan ekspor minyak kelapa sawit tidak dapat dikategorikan sebagai bentuk subsidi. Ketiga, Panel WTO menyatakan Komisi Uni Eropa gagal membuktikan adanya ancaman kerugian material yang dialami produsen biodiesel di Eropa akibat ekspor biodiesel Indonesia.
Terlebih, Komisi Eropa dinilai mengabaikan faktor-faktor lain yang turut memengaruhi dinamika pasar biodiesel di kawasan tersebut.
"Dengan demikian, Panel WTO menilai bahwa bea masuk imbalan yang diberlakukan UE terhadap produk biodiesel Indonesia tidak didasarkan pada bukti yang objektif," ujarnya.
Budi menyebut kemenangan ini membuktikan Indonesia mampu bersaing secara adil di pasar global dan siap membela kepentingan nasionalnya melalui mekanisme WTO.
Sementara itu, Sekjen Kemendag Isy Karim menekankan pemerintah berkomitmen untuk terus bekerja sama dengan semua pihak untuk memastikan perdagangan yang adil dan berimbang.
"Kami berharap Uni Eropa dapat menghormati putusan WTO dan segera mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk menyesuaikan kebijakannya, sehingga Indonesia dapat memulihkan kinerja ekspor produk biodiesel ke UE," katanya.
Isy menyatakan Kemendag akan menggunakan seluruh instrumen diplomasi dan hukum yang tersedia untuk memastikan kemenangan di tingkat WTO ini diimplementasikan secara nyata oleh Uni Eropa. Kemendag pun berkomitmen untuk terus mendukung industri biodiesel nasional dan memastikan akses pasar yang adil bagi produk-produk Indonesia di tingkat global. (dik)