
SAAT Perang Dunia II, banyak pesawat tempur Sekutu mengalami kerusakan akibat terkena tembakan dari musuh. Untuk meningkatkan peluang pesawat tempur kembali ke pangkalan, pihak Sekutu menganalisis persebaran lubang-lubang bekas tembakan pada pesawat yang selamat. Setelahnya, mereka memperkuat bagian pesawat yang paling banyak memiliki lubang peluru.
Abraham Wald (1943), seorang ahli statistik yang ikut dalam analisis pesawat tempur malah berpendapat sebaliknya. Bagian yang harus diperkuat justru bagian yang tidak ada lubangnya.
Alasannya begini. Pahami bahwa pesawat-pesawat yang dijadikan riset merupakan pesawat-pesawat yang berhasil selamat meski dengan lubang-lubang di bagian tertentu. Artinya, bisa kita anggap bahwa pesawat-pesawat yang tertembak di bagian lain justru tidak bisa kembali ke pangkalan dan tidak selamat.
Pesawat yang tertembak sebagian dan menjadi data penelitian pada dasarnya masih mampu kembali ke pangkalan, tetapi justru pesawat yang menderita kerusakan paling parah, tidak ada dalam data tersebut. Hal inilah yang disebut survivorship bias, sesuatu yang sangat sering terjadi dalam pemanfaatan data, termasuk untuk kepentingan perpajakan.
Dalam penggalian potensi pajak, terdapat istilah intensifikasi dan ekstensifikasi. Intensifikasi adalah melakukan penelitian ke wajib pajak yang sudah terdaftar, sedangkan ekstensifikasi adalah penelitian kepada calon wajib pajak. Dalam proses intensifikasi inilah, survivorship bias sering terjadi.
Perusahaan yang mendeklarasikan transaksi afiliasi dan membuat dokumentasi transfer pricing (TP Doc), tentu saja akan lebih banyak menghasilkan data dibandingkan dengan yang menyembunyikan transaksi afiliasinya.
Padahal, justru yang sudah membuat TP Doc itulah yang sudah lebih taat terhadap aturan perpajakan. Namun, karena pembuktian transaksi afiliasi tanpa data itu sulit, akhirnya entitas yang menghasilkan banyak data justru menjadi target dan yang tidak mendeklarasikan seolah terabaikan.
Hal yang sama juga terjadi di perusahaan yang diaudit vs tidak diaudit. Menganalisis laporan keuangan audited lebih mudah dibandingkan yang tidak diaudit karena melimpahnya informasi dan data di dalam laporan keuangan audit.
Wajib pajak yang melaporkan SPT pun pada dasarnya juga lebih memberikan lebih banyak data dibandingkan yang tidak melaporkan SPT yang berakibat mereka ini lebih sering diawasi oleh KPP melalui SP2DK maupun pemeriksaan pajak.
Survivorship bias terjadi karena intensifikasi dilakukan kepada pihak yang menghasilkan lebih banyak data. Padahal risiko ketidakpatuhan justru lebih tinggi terjadi pada perusahaan yang laporannya tidak diaudit, dan pada wajib pajak yang tidak melaporkan SPT.
Alih-alih fokus ke pihak yang tidak menghasilkan data, otoritas justru menyasar pihak-pihak yang sebenarnya sudah menyodorkan data. Yang tidak melaporkan SPT misalnya, berpotensi dinonaktifkan statusnya oleh KPP. Kita tidak bisa memungkiri, menghitung pajak tanpa data yang memadai jelas lebih sulit ketimbang memberikan menghitungnya atas data yang lengkap. Paling, perlu koreksi di sana-sini.
Pemanfaatan Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) serta implementasi coretax system merupakan jalan keluar dari intensifikasi yang hanya menyasar wajib pajak 'itu-itu saja'.
Dengan transformasi administrasi, akan makin banyak data yang bisa menjadi pembanding bagi penghasilan yang sudah dilaporkan dalam SPT. Terhadap penghasilan yang belum dilaporkan dalam SPT pun, bisa dilakukan pengawasan seperti halnya yang sudah melaporkan SPT.
Belum lama, publik diramaikan oleh pemberitaan tentang tukang jahit yang didatangi petugas pajak karena terdapat data pembelian bahan baku kain dalam jumlah besar. Setelahnya, baru terkonfirmasi bahwa ada kemungkinan identitasnya digunakan oleh pihak lain.
Hal tersebut menunjukkan mau seluas apapun datanya, pihak yang memiliki risiko ketidakpatuhan terbesar adalah justru yang tidak terdapat dalam data tersebut.
Wajib pajak yang menggunakan identitas sendiri tentu akan memberikan lebih banyak data dibandingkan dengan yang 'menggunakan' identitas orang lain. Padahal jelas, apa yang dilakukan sudah masuk ke dalam penghindaran pajak secara sengaja.
Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa juga sudah menginstruksikan DJP untuk tidak mengganggu wajib pajak yang sudah membayar pajak, dengan kata lain, jangan sampai terjadi survivorship bias.
Belajar dari kasus tukang jahit, penggalian potensi pajak sejatinya diarahkan ke pihak yang menggunakan identitas orang lain, bukan yang sudah menggunakan identitas sendiri.
Penggalian potensi pajak juga semestinya mulai menyasar ke pihak yang belum melaporkan SPT, tidak sekadar meminta membetulkan SPT yang sudah ada.
Pemerintah perlu menarget yang belum membayar, bukan hanya yang sudah membayar. Lebih jauh, pemerintah juga perlu memulai menganalisis laporan keuangan non-audit, jangan terlena dengan banyaknya data dari yang sudah diaudit.
Pada akhirnya, otoritas pajak harus berani membongkar transaksi afiliasi tersembunyi yang bahkan tidak dideklarasikan sama sekali. Entitas yang tidak ter-capture dalam data, justru adalah yang paling tinggi risikonya.
