JAKARTA, DDTCNews - Ketua Umum Perkumpulan Tax Center dan Akademisi Pajak Seluruh Indonesia (PERTAPSI) Darussalam memandang Indonesia perlu mendorong terciptanya kepatuhan kooperatif atau cooperative compliance.
Darussalam mengatakan kepatuhan kooperatif ialah jalan tengah antara kepatuhan yang dipaksakan (enforced compliance) dan kepatuhan sukarela (voluntary compliance). Menurutnya, beberapa negara sudah mulai mengenakan pajak dengan berprinsip pada kepatuhan kooperatif.
"Kepatuhan kooperatif adalah kepatuhan yang menjunjung tinggi transparansi, rasa saling percaya antara otoritas pajak dan wajib pajak, serta prinsip saling menghargai. Otoritas diberi kewenangan untuk mengenakan pajak, tetapi di sisi lain wajib pajak harus diberikan perlindungan atas pengenaan pajak yang tidak sesuai aturan," katanya dalam seminar bertajuk Petra Agile & Integrity Forum: Compliance and Sustainability Growth yang digelar oleh Universitas Kristen (UK) Petra, Selasa (30/9/2025).
Salah satu upaya Ditjen Pajak (DJP) dalam mewujudkan kepatuhan kooperatif adalah dengan meluncurkan taxpayers' charter atau piagam wajib pajak. Piagam tersebut memuat 8 hak dan 8 kewajiban wajib pajak.
Meski demikian, ke depan Indonesia perlu mengadopsi pendekatan yang banyak diterapkan oleh negara-negara lain utamanya negara maju, yakni tax control framework (TCF).
Dengan TCF, wajib pajak secara transparan menunjukkan kepada otoritas pajak terkait bagaimana wajib pajak melakukan kontrol atas perhitungan, pembayaran, dan pelaporan pajak, serta bagaimana wajib pajak memperbaiki kekeliruan yang mungkin timbul karena lemahnya sistem kontrol internal.
"Dengan TCF, pendekatan tidak lagi dalam konteks konfrontasi melalui pemeriksaan, tetapi dibawa ke depan dalam konteks kolaborasi," ujar Darussalam yang juga Founder DDTC.
Di negara-negara maju, TCF banyak dimanfaatkan oleh wajib pajak besar. Dengan kata lain, dalam konteks Indonesia, TCF dapat dimanfaatkan oleh wajib pajak yang terdaftar pada large taxpayer office (LTO).
"Di transfer pricing ada advance pricing agreement (APA), kalau TCF konteksnya lebih luas dari transfer pricing. Artinya, transparansi wajib pajak dipertukarkan dengan kepastian bagi wajib pajak," tutur Darussalam.
Melalui TCF, otoritas pajak sudah mengetahui risiko-risiko pajak sejak awal tahun berdasarkan data yang disediakan oleh wajib pajak. Dengan data ini, otoritas pajak dapat memberikan saran berdasarkan data dimaksud.
"Otoritas pajak memberikan saran untuk wajib pajak menjadi patuh berdasarkan data yang mereka ungkapkan, untuk dipastikan berapa nanti total pajak yang akan harus dibayar. Dalam hal ini, negara sudah tahu dari awal berapa potensi yang akan didapat dari wajib pajak. Itu sisi positifnya," kata Darussalam.
Bagi wajib pajak, TCF meminimalkan potensi timbulnya pemeriksaan di kemudian hari mengingat wajib pajak sudah menyerahkan seluruh data secara transparan untuk dinilai oleh pihak otoritas pajak.
"Inilah yang harus kita kembangkan ke depan, pendekatan wajib pajak dari konfrontasi menjadi kolaborasi," ujar Darussalam. (rig)