LAPORAN FOKUS

Strategi Peningkatan Kepatuhan Pajak Influencer di Berbagai Negara

Muhamad Wildan
Jumat, 15 Agustus 2025 | 13.40 WIB
Strategi Peningkatan Kepatuhan Pajak Influencer di Berbagai Negara
<p>Ilustrasi.&nbsp;</p>

KEHADIRAN dan perkembangan media sosial dan platform dalam beberapa tahun terakhir telah mengubah strategi pemasaran secara signifikan.

Hadirnya media sosial memungkinkan influencer untuk turut menawarkan jasa pemasaran dengan jangkauan (reach) yang tak kalah masifnya dibandingkan dengan jasa pemasaran konvensional yang ditawarkan oleh segelintir perusahaan.

Berkat media sosial, kini setiap pemilik akun media sosial dengan jumlah pengikut tertentu bisa mendapuk dirinya sebagai influencer, lalu menawarkan jasa pemasaran dengan biaya yang lebih murah dibandingkan dengan jasa pemasaran konvensional.

Dengan demikian, kehadiran media sosial secara langsung mendisrupsi sekaligus mendemokratisasi sektor jasa pemasaran. Penghasilan yang dahulu dinikmati oleh perusahaan pemasaran, penyiaran, dan media massa kini turut dinikmati oleh influencer.

Namun, perubahan ini menghadirkan tantangan baru. Saat ini, otoritas pajak masih kesulitan mengidentifikasi orang pribadi pemilik akun media sosial yang dapat dikategorikan sebagai influencer.

Kalaupun influencer berhasil diidentifikasi, otoritas pajak juga masih kesulitan untuk mengidentifikasi sumber penghasilan dari seorang influencer. Pasalnya, setiap platform media sosial menawarkan bentuk monetisasi yang berbeda. Tak hanya itu, banyak influencer yang memperoleh penghasilan secara langsung dari pemilik brand, bukan secara langsung dari platform.

Bentuk penghasilan yang diberikan tidak hanya berupa uang tunai, melainkan juga berupa natura dan kenikmatan yang bisa jadi hingga saat ini masih sulit diidentifikasi oleh otoritas pajak.

Berkaca pada kondisi ini, tak mengherankan bila otoritas pajak di berbagai negara memilih untuk menerapkan strategi-strategi khusus guna meningkatkan kepatuhan para wajib pajak yang merupakan influencer.

Strategi khusus telah diterapkan oleh negara-negara tetangga, mulai dari Singapura, Malaysia, hingga Filipina.

Singapura

Di Singapura, otoritas pajak (Inland Revenue Authority of Singapore/IRAS) telah melakukan pengawasan kepatuhan atas beberapa influencer yang terpilih sebagai sampel.

Dari kegiatan tersebut, tercatat masih ada beberapa influencer yang belum melaporkan penghasilannya secara lengkap kepada IRAS selaku otoritas pajak.

IRAS bahkan memberikan pengaturan khusus atas penghasilan berupa natura yang diterima oleh influencer. Penegasan ini diperlukan mengingat influencer di Singapura mengaku kesulitan mengidentifikasi dan melaporkan natura sehubungan dengan pemberian jasa.

Menurut IRAS, influencer tidak perlu mendeklarasikan penghasilan yang berupa natura bila 2 syarat kumulatif terpenuhi. Pertama, natura diberikan hanya sekali untuk konsumsi atau pengujian. Kedua, nilai natura tidak lebih dari SG$100.

Bila nilai natura melebihi SG$100, natura tersebut adalah penghasilan yang terutang pajak dan harus dilaporkan dalam SPT wajib pajak influencer.

Malaysia

Di Malaysia, otoritas pajak (Lembaga Hasil Dalam Negeri/LHDN) mengandalkan nudge action untuk meningkatkan kepatuhan para influencer, khususnya influencer yang mempromosikan produk tertentu melalui Tiktok atau Instagram.

Berdasarkan pemetaan yang dilakukan LHDN, influencer dengan setidaknya 50.000 pengikut mampu memperoleh penghasilan senilai MYR10.000 hingga MYR15.000 per bulan. Adapun influencer dengan pengikut melebihi 500.000 memperoleh penghasilan senilai MYR50.000 hingga MYR100.000.

Berkaca pada kondisi ini, LHDN meminta influencer untuk melaporkan penghasilannya mengingat setiap orang dengan penghasilan di atas MYR30.000 wajib membayar pajak dan melaporkan SPT.

Tak hanya itu, LHDN juga telah memanggil segelintir influencer yang kenaikan kepemilikan asetnya tak sejalan dengan penghasilan. Kenaikan aset tanpa sumber penghasilan yang jelas mengindikasikan adanya ketidakpatuhan pajak.

Lewat langkah-langkah di atas, LHDN mencatat hingga 2023 sudah ada 1.250 influencer melakukan voluntary declaration.

Filipina

Di Filipina, otoritas pajak (Bureau of Internal Revenue/BIR) telah membentuk satuan tugas khusus guna memeriksa wajib pajak yang berprofesi sebagai influencer.

Satuan tugas ini bertugas memastikan influencer telah mendeklarasikan seluruh penghasilan dan membayar pajak atas penghasilannya. Saat ini, ada 27 influencer yang sudah diidentifikasi dan akan diperiksa oleh BIR.

BIR juga telah menegaskan bahwa penghasilan yang diterima oleh influencer selaku sole proprietor dari berbagai sumber, termasuk Youtube Partner Program, unggahan bersponsor, brand ambassador, affiliate marketing, kolaborasi produk, penjualan produk sendiri, dan lain-lain merupakan objek PPh dan harus dilaporkan dalam SPT.

Penghasilan yang diperlakukan sebagai royalti oleh yurisdiksi lain, utamanya penghasilan dari Youtube Partner Program, juga dikategorikan sebagai penghasilan yang harus dilaporkan dalam SPT.

Di beberapa negara, pemerintah lebih memilih untuk menerapkan jenis pajak baru atas penghasilan yang diterima oleh influencer. Pajak baru dipandang perlu untuk meningkatkan kontribusi ekonomi digital terhadap penerimaan negara.

Kenya

Pada 2023, Kenya menetapkan regulasi baru yang mewajibkan pemungutan digital service tax (DST) sebesar 15% atas penghasilan yang diterima oleh influencer, baik itu sponsor, affiliate marketing, subscription, hingga crowdfunding.

Tanzania

Tanzania juga memilih untuk menerapkan withholding tax sebesar 5% atas penghasilan yang diterima oleh influencer. Secara umum, seluruh pembayaran dari residen maupun nonresiden kepada influencer Tanzania harus dipotong withholding tax sebesar 5%.

China

China menjadi contoh negara yang mengambil langkah paling ekstrem dan represif terhadap influencer yang tidak mematuhi ketentuan pajak. Pada September 2021, otoritas pajak (State Taxation Administration/STA) menerapkan kebijakan khusus guna mencegah penghindaran pajak oleh influencer.

Pasalnya, influencer ditengarai memanfaatkan kebijakan pajak preferensial dari negara bagian tertentu, utamanya Xinjiang, guna mengurangi nilai pajak yang seharusnya dibayarkan kepada STA.

Menurut STA, terdapat beberapa pesohor yang mendirikan perusahaan cangkang di Xinjiang untuk melakukan penghindaran pajak dengan memanfaatkan fasilitas yang ditawarkan oleh negara bagian tersebut.

Pada saat yang sama, STA juga memulai pemeriksaan acak atas influencer yang memiliki kekurangan pembayaran pajak. Influencer juga telah diminta untuk secara sukarela melunasi pajak yang kurang dibayar agar terhindar dari sanksi.

Tak lama setelah pengumuman tersebut, STA memeriksa influencer bernama Huang Wei alias Viya dan mewajibkannya untuk membayar pajak sekaligus denda senilai CNY1,34 miliar. Viya ditengarai secara sengaja menyembunyikan penghasilan yang diperoleh pada 2019 dan 2020 dan tidak membayar pajak atas penghasilan tersebut.

Viya pun menyampaikan permohonan maaf atas penghindaran pajak yang dilakukannya. Setelah menyampaikan permohonan maafnya, China menghapus seluruh akun media sosial milik Viya.

Pada 2022, STA bersama Cyberspace Administration dan State Administration for Market Regulation juga mewajibkan platform untuk melaporkan penghasilan influencer secara rutin setiap 6 bulan.

Adapun kini STA sedang menyusun regulasi yang mewajibkan e-commerce, platform video pendek, dan platform media sosial untuk melaporkan penghasilan influencer kepada otoritas. (dik)

Editor : Dian Kurniati
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Ingin selalu terdepan dengan kabar perpajakan terkini?Ikuti DDTCNews WhatsApp Channel & dapatkan berita pilihan di genggaman Anda.
Ikuti sekarang
News Whatsapp Channel
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.