
INDONESIA merupakan negara besar dengan wilayah yang amat luas. Karena itu, kebutuhan akan infrastruktur jalan menjadi keniscayaan yang tak terhindarkan. Jalan tidak hanya berfungsi untuk perpindahan orang, tetapi juga menjadi urat nadi utama logistik nasional.
Namun, hingga kini, infrastruktur jalan di Indonesia masih jauh dari memadai. Sebagai perbandingan, menurut data World Bank (2020), panjang jalan per kapita Indonesia hanya mencapai 2,02 meter per kapita. Jumlah ini masih berada di bawah Thailand yang memiliki 2,79 meter per kapita, Tiongkok 3,05 meter per kapita, dan Malaysia sebesar 5,52 meter per kapita.
Bahkan dari sisi waktu tempuh, kondisi jalan nasional juga belum optimal. Berdasarkan kajian Ditjen Bina Marga Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) tahun 2023, ketercapaian indikator rata-rata kinerja waktu tempuh pada jalan lintas utama pulau di Indonesia hanya sebesar 2,3 jam per 100 km. Angka ini masih lebih lambat ketimbang Thailand dan Malaysia yang rata-rata di bawah 2 jam per 100 km.
Dengan kondisi tersebut, pemerintah menargetkan pembangunan jalan tol sepanjang 2.500 km pada periode 2025–2029. Selain itu, pemerintah juga menargetkan kemantapan jalan nasional 100% serta waktu tempuh rata-rata sebesar 1,7 jam per 100 km.
Untuk mewujudkan target ambisius itu tentu tak mudah. Tantangan terbesar pemerintah terletak pada sisi pendanaan. Pemerintah membutuhkan dana sekitar Rp725 triliun untuk dapat merealisasikan pembangunan tersebut.
Di tengah keterbatasan fiskal, diperlukan sumber pembiayaan alternatif yang berkelanjutan. Salah satu opsi yang dapat dipertimbangkan pemerintah ialah dengan mengenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas jasa jalan tol.
PPN atas jasa jalan tol sesungguhnya bukan hal baru. Pada 2015, pemerintah pernah berencana untuk memberlakukan kebijakan tersebut melalui PER-10/PJ/2015. Namun, beleid ini kemudian ditunda melalui PER-16/PJ/2015 dengan pertimbangan perlunya regulasi yang lebih kuat dan komprehensif.
Selang 1 dekade, wacana pengenaan PPN atas jasa jalan tol tersebut seolah menguap begitu saja. Padahal, kebijakan ini berpotensi besar menjadi solusi pemerintah di tengah kebutuhan pendanaan infrastruktur yang meningkat.
Penulis meyakini pengenaan PPN atas jasa jalan tol tidak hanya berfungsi menambah penerimaan negara untuk membiayai pembangunan infrastruktur, tetapi juga mampu menghadirkan keadilan yang lebih baik bagi masyarakat luas.
Selama ini, jalan tol lebih banyak dinikmati oleh pemilik kendaraan pribadi. Sementara itu, kendaraan umum seperti bus dan truk logistik tidak mendominasi penggunaannya. Bahkan, pengendara sepeda motor—yang merupakan mayoritas pengguna jalan di Indonesia—hanya dapat mengakses segelintir ruas tol seperti Jembatan Suramadu dan Tol Bali Mandara.
Kondisi tersebut menimbulkan pertanyaan mengenai keadilan dalam akses infrastruktur. Tidak heran, muncul berbagai usulan agar pengendara motor diperbolehkan melintasi jalan tol.
Walaupun sering ditolak dengan alasan keselamatan, dorongan tersebut menunjukkan adanya aspirasi masyarakat terhadap akses transportasi yang lebih merata.
Oleh karena itu, kebijakan jalan tol semestinya dapat menjadi instrumen untuk menciptakan keadilan dan efisiensi. Pengenaan PPN bisa menjadi salah satu jalannya.
Selain berfungsi sebagai instrumen penerimaan (fungsi budgetair), kebijakan ini juga memiliki fungsi pemerataan (distributive) dan pengaturan (regulerend). Dengan adanya PPN, tarif tol bagi kendaraan pribadi akan sedikit terkoreksi naik.
Koreksi tersebut juga dapat menjadi disinsentif terhadap penggunaan mobil pribadi secara berlebihan, sekaligus mendorong masyarakat beralih pada moda transportasi umum.
Namun, implementasinya harus dirancang secara hati-hati agar tidak menimbulkan dampak negatif bagi biaya logistik nasional. Kebijakan ini dapat diterapkan secara selektif, misalnya hanya untuk kendaraan Golongan I nontransportasi umum seperti mobil pribadi.
Sementara itu, kendaraan angkutan umum dan logistik seperti pick-up, angkot, bus, serta truk golongan II ke atas dapat dibebaskan dari pengenaan PPN. Skema diferensiasi ini memastikan kebijakan tidak memperberat biaya distribusi barang dan jasa.
Agar kebijakan ini diterima publik, kuncinya terletak pada transparansi dan akuntabilitas melalui mekanisme earmarking. Berdasarkan glosarium DDTC, earmarking ialah pengalokasian seluruh atau sebagian penerimaan pajak untuk mendanai pengeluaran publik tertentu.
Dalam konteks PPN atas jasa jalan tol, hasil pemajakan tersebut sebaiknya tidak tercampur dalam APBN secara umum. Dana yang didapat tersebut harus dialokasikan secara khusus untuk mendukung pengembangan infrastruktur transportasi nasional.
Selain untuk membiayai pembangunan jalan tol baru, dana hasil earmarking juga dapat digunakan untuk mensubsidi pengembangan transportasi publik yang lebih modern, nyaman, dan terjangkau.
Dengan demikian, pengenaan PPN atas jasa jalan tol bukanlah sekadar upaya menambah penerimaan negara, melainkan langkah strategis yang memiliki banyak fungsi: mempercepat pembangunan infrastruktur, menghadirkan keadilan sosial, serta mengatur perilaku penggunaan kendaraan pribadi.
Harapannya, kebijakan tersebut dapat menjadi fondasi bagi sistem transportasi nasional yang lebih berkelanjutan dan berpihak kepada seluruh lapisan masyarakat.
*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2025. Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan HUT ke-18 DDTC. Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp75 juta di sini.
