PADA awal 2025, Pak Adi menerima informasi pemutusan hubungan kerja (PHK) dari tempatnya bekerja selama 10 tahun terakhir. Namun, Pak Adi tidak sendiri. Dia merupakan satu dari sekian ribu orang yang telah kehilangan pekerjaan karena tekanan perekonomian, baik domestik atau global.
Kementerian Ketenagakerjaan mencatat 42.385 orang telah kehilangan pekerjaan selama periode Januari–Juni 2025. Jumlah tersebut naik 32,1% jika dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang mencapai 32.064 orang (Kemnaker, 2025).
Kondisi ini menjadi alarm bagi pemerintah. Tekanan ekonomi akibat fluktuasi permintaan global, restrukturisasi industri, hingga kebijakan perdagangan internasional mulai berdampak nyata pada pasar tenaga kerja domestik.
Kondisi ini tidak bisa dilihat sebagai angka statistik semata. Ada kelangsungan hidup setiap keluarga di dalamnya. Dalam situasi seperti ini, pemerintah dituntut menjalankan peran ganda: menyediakan jaring pengaman sosial bagi korban PHK sekaligus mempertahankan momentum pemulihan ekonomi.
Berkaca pada penanganan pandemi Covid-19, pemerintah selalu mengandalkan kebijakan diskresi melalui paket stimulus dan bantuan sosial (bansos). Kebijakan seperti itu berdurasi pendek dan dirancang non-sistematis untuk menahan dampak guncangan ekonomi.
Kebijakan fiskal Indonesia cenderung bersifat prosiklikal atau a-siklis, sehingga ketika terjadi perlambatan, pemerintah lebih memilih langkah instan ketimbang mengandalkan stabilisator otomatis yang terprogram secara sistematis (Haryo, 2021).
Akibatnya, biaya stimulus diskresi membengkak karena tidak ada penopang fiskal yang aktif secara otomatis saat krisis tiba (Dolls, Fuest, dan Peichl, 2012).
Contoh nyata terlihat saat pandemi Covid-19, Indonesia menyiapkan paket fiskal dengan total 4,2% dari PDB. Anggaran penanganan pandemi yang awalnya Rp33,2 triliun, membengkak menjadi Rp 405 triliun. Lalu, naik lagi menjadi Rp677,2 triliun.
Setelah pandemi, pemerintah juga menerbitkan paket stimulus seperti PPh 21 ditanggung pemerintah (DTP), PPN DTP, dan kebijakan lainnya. Anggaran sebesar itu semata untuk menjaga daya beli masyarakat.
Pertanyaan selanjutnya, apakah pemangku kepentingan akan terus menggunakan kebijakan diskresi yang bersifat reaktif meskipun tidak efektif untuk jangka panjang?
Kajian OECD (2020) menjabarkan sejumlah negara sudah menyiapkan automatic stabilizer (stabilisator fiskal) dalam menangani krisis ekonomi sebagai bahan pembelajaran dari pandemi Covid-19.
Stabilisator fiskal bekerja tanpa keputusan ad hoc, misalnya tarif progresif PPh orang pribadi yang menurun saat pendapatan turun, atau pembayaran tunjangan pengangguran yang langsung meningkat ketika PHK melonjak.
Karena bekerja secara otomatis dan hanya bersifat sementara, stabilisator ini cepat dan tidak mengubah kebijakan fiskal jangka panjang, sehingga membantu mengurangi bias prosiklikal (Blanchard et al., 2010; Sutherland et al., 2010). Selain itu, stabilisator dapat menahan defisit publik untuk menjaga ruang fiskal di masa depan (IMF, 2020).
Stabilisator fiskal ini terbukti mampu menyerap resesi pendapatan selama Covid-19. Kebijakan ini mampu menyerap rata‑rata 60% resesi pendapatan pasar di tahun pertama, bahkan di Jerman dan Belanda mencapai 80%.
Namun, di Spanyol, Slovakia, Jepang, dan Yunani stabilisator fiskal hanya mampu bekerja dengan efektivitas di bawah 40%. Di Indonesia, tercatat hanya mampu menyerap sekitar 20%–30 % resesi pendapatan rumah tangga.
Artinya, efektivitas stabilisator fiskal di Indonesia jauh di bawah rata‑rata OECD. Hal ini disebabkan karena Indonesia mengandalkan progresivitas PPh orang pribadi (PPh OP) dan tarif tunggal PPh Badan (OECD, 2020).
Berdasarkan data dan temuan empiris, struktur tarif pajak progresif pada PPh OP menjadi penopang stabilator fiskal sehingga perlu dioptimalkan. Saat ini, tarif tunggal PPh badan sebesar 22% gagal berperan sebagai counter‑cyclical fiscal di tengah perlambatan ekonomi.
Oleh karena itu, pemerintah sebaiknya mempertimbangkan penajaman progresivitas PPh orang pribadi serta penerapan diferensiasi tarif PPh badan berdasarkan ukuran dan profitabilitas perusahaan. Langkah ini tidak hanya akan memperkuat mekanisme automatic stabilizer, tetapi juga menciptakan ruang fiskal lebih besar pada masa pertumbuhan.
Saat ini tarif tertinggi progresif PPh OP di Indonesia mencapai 35%. Angka ini jauh di bawah standar negara-negara dengan stabilisator fiskal yang kuat.
Sebagai perbandingan, Denmark menerapkan tarif progresif hingga 52,07% (55,90% jika termasuk labour market contribution sebesar 8%). Penerapan tarif dengan beberapa lapis braket yang memastikan beban pajak menyesuaikan penurunan atau kenaikan pendapatan secara otomatis.
Penulis berpendapat pemerintah bisa menambah satu atau dua lapis tarif di atas 35%. Misalnya, pada lapisan pendapatan di atas Rp2,5 miliar setahun dikenai tarif 40% dan pendapatan di atas Rp5 Miliar dikenai tarif 45%.
Penambahan lapisan tarif ini dapat memperkuat efek counter‑cyclical. Ketika pendapatan turun maka wajib pajak yang memiliki pendapatan di lapis bawah akan mendapatkan tarif lebih rendah. Sementara bagi orang kaya yang memiliki pendapatan meningkat maka menjadi donatur lebih besar pada penerimaan negara.
Di sisi PPh badan, pemerintah bisa mengadopsi diferensiasi tarif berdasarkan ukuran dan profitabilitas perusahaan. Kebijakan ini berlaku di Denmark dan sebagian negara Nordik lainnya. Meski tarif pajaknya tunggal, Denmark memiliki basis pajak yang luas.
Negara-negara Nordik juga memungut labour market contribution yang berfungsi bantalan jika terjadi resesi ekonomi. Langkah ini akan meningkatkan sensitivitas penerimaan korporasi terhadap fluktuasi ekonomi tanpa membebani usaha kecil.
Rekomendasi tersebut sejalan dengan temuan OECD bahwa salah satu cara efektif memperkuat stabilisator otomatis adalah dengan menyusun tarif PPh yang bersifat progresif dan mengubah struktur pajak menuju basis pajak yang elastis (OECD, 2020).
Sudah saatnya pemerintah mengalokasikan perhatian dari kebijakan diskresi menuju kebijakan yang lebih mengedepankan kualitas jangka panjang. Tanpa adanya langkah konkret dari pemerintah, jutaan keluarga rentan terjatuh ke jurang kemiskinan. (sap)