KESEIMBANGAN antara pertumbuhan ekonomi dan penerimaan perpajakan kerap kali dipersepsikan sebagai tarik-ulur kepentingan. Di satu sisi, negara dituntut mengamankan penerimaan fiskal. Di sisi lain, dunia usaha menginginkan fleksibilitas dan stabilitas iklim investasi.
Namun, seiring dengan transformasi ekonomi global, titik temu antara keduanya bisa dicapai melalui penegakan hukum pajak yang berkepastian. Kepastian inilah yang menjadi katalis untuk menjaga keadilan fiskal, meningkatkan kepatuhan, sekaligus mengundang investasi berkualitas.
Data OECD Tax Certainty Report (2022) menunjukkan lebih dari 70% investor global ternyata menempatkan tax certainty sebagai indikator utama dalam keputusan investasi, bahkan melampaui besaran tarif.
Sementara itu, laporan Ease of Doing Business (World Bank, 2020) menegaskan transparansi regulasi pajak—yang juga merupakan bagian dari upaya menjaga tax certainty—juga berkontribusi signifikan terhadap daya saing nasional.
Kepastian juga erat hubungannya dengan penegakan hukum yang jelas, konsisten, dan transparan. Berdasarkan riset IMF (2022), negara dengan kepastian hukum tinggi memiliki rasio kepatuhan pajak 10–15% lebih baik dibandingkan negara dengan regulasi ambigu.
Indonesia pun telah menunjukkan tren positif dengan rasio kepatuhan formal yang naik dari 72% pada 2017 menjadi 84% pada 2022 seiring dengan dilakukanya digitalisasi administrasi perpajakan seperti e-filing, e-bupot, dan pengembangan core tax system.
Capaian tersebut membuktikan kepastian dan kemudahan lebih efektif dalam mengerek penerimaan perpajakan dibandingkan dengan tekanan koersif.
Selama ini, strategi menarik investasi masih banyak bergantung pada tax holiday atau tax allowance. Namun, riset IMF (2021) menegaskan bahwa kepastian hukum jauh lebih memengaruhi keputusan investasi dibandingkan dengan insentif fiskal.
Sebab, insentif hanya menarik investor jangka pendek, sedangkan kepastian memberi sinyal stabilitas jangka panjang. Dengan demikian, kepastian hukum pajak seharusnya diposisikan sebagai “insentif utama”.
Tarif yang moderat, tetapi stabil lebih dipercaya investor dibandingkan dengan insentif besar yang rawan dicabut. Pendekatan ini juga mencegah praktik race to the bottom yang justru melemahkan basis pajak di banyak negara berkembang.
Atas dasar itulah penulis mendorong pemerintah untuk mengembangkan Integrated Tax Certainty Framework (ITCF)—sebuah kerangka terintegrasi yang melampaui regulasi sektoral untuk memastikan kepastian pada setiap tahap proses perpajakan.
Melalui ITCF, pemerintah dapat menghadirkan Advance Tax Agreement, yaitu kesepakatan antara wajib pajak dan otoritas pajak mengenai interpretasi aturan sebelum transaksi strategis dilakukan sehingga potensi sengketa bisa dicegah sejak awal.
Pada saat bersamaan, pemerintah juga dapat memperkuat kecepatan dan efisiensi penyelesaian sengketa melalui Digital Real-Time Dispute Resolution, yakni mekanisme mediasi berbasis teknologi dengan tenggat maksimal 90 hari.
Untuk menjamin konsistensi penafsiran aturan lintas yurisdiksi, pemerintah juga dapat membentuk One-Stop Treaty Interpretation Center sebagai lembaga tunggal pengelola interpretasi perjanjian pajak internasional.
Semua langkah tersebut selanjutnya akan ditopang dalam Public Tax Transparency Dashboard—suatu portal keterbukaan yang menyajikan data kasus perpajakan secara transparan guna memperkuat akuntabilitas publik.
Dengan 4 pilar tersebut, ITCF diyakini mampu meminimalkan sengketa, menekan biaya kepatuhan, serta memperkokoh kepercayaan investor terhadap sistem perpajakan nasional.
Keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dan penerimaan perpajakan sejatinya bukan paradoks. Dengan penegakan hukum yang berkepastian, negara dapat memperoleh penerimaan yang stabil melalui kepatuhan sukarela, sedangkan dunia usaha menikmati iklim investasi yang adil dan prediktif.
Gagasan ITCF dapat menjadi terobosan strategis—bukan sekadar menambah regulasi, tetapi membangun kontrak kepercayaan baru antara negara, wajib pajak, dan investor. Pada titik inilah pajak tidak lagi dipandang sebagai beban, melainkan sebagai fondasi stabilitas dan katalis pertumbuhan ekonomi berkelanjutan.
Dalam konteks persaingan global yang makin ketat, kepastian hukum pajak bukan sekadar isu teknis, melainkan strategi geopolitik untuk menjaga arus modal asing tetap masuk dengan kualitas terjaga. Investor global kini menilai tidak hanya tingkat pengembalian investasi, tetapi juga stabilitas regulasi jangka panjang.
ITCF memberi sinyal kuat bahwa Indonesia bukan hanya pasar yang besar, tetapi juga yurisdiksi yang dapat diprediksi dan dipercaya. Dengan cara ini, penerimaan pajak dapat terus meningkat tanpa mengorbankan iklim usaha, sehingga tercipta siklus sinergis antara fiskal yang kuat, iklim investasi yang sehat, dan pertumbuhan ekonomi yang inklusif.
*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2025. Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan HUT ke-18 DDTC. Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp75 juta di sini.