INDONESIA saat ini menghadapi dilema kebijakan fundamental guna mewujudkan aspirasi ekonomi digital yang diproyeksikan mencapai US$210 miliar hingga US$360 miliar pada 2030 (Sekretariat Kabinet RI, 2024).
Di satu sisi, pemerintah perlu mempercepat adopsi digital melalui insentif pajak strategis, mengingat pertumbuhan PDB sebesar 5,03% pada 2024 masih belum cukup untuk mendorong tercapainya Visi Indonesia Emas 2045.
Namun, di sisi lain, kebijakan fiskal diarahkan untuk tetap dituntut menjaga keberlanjutan pendapatan dengan rasio pajak terhadap PDB yang masih terbatas. Melihat kondisi tersebut, penulis menyodorkan pembaruan (upgrade) atas insentif depresiasi dipercepat.
Penulis menilai kerangka depresiasi dipercepat yang berlaku saat ini sebagaimana diatur dalam PMK 72/2023 belum spesifik menargetkan teknologi digital, termasuk mengukur dampaknya terhadap transformasi perusahaan.
Alhasil, kesenjangan antara instrumen kebijakan dan objektif transformasi digital tersebut membuka peluang besar untuk inovasi kebijakan berbasis bukti (evidence-based policy) atas kebijakan insentif depresiasi dipercepat.
Pengalaman internasional, khususnya di China, memberikan pembelajaran berharga. Observasi terhadap 19.709 perusahaan sepanjang 2010–2019 menunjukkan bahwa depresiasi dipercepat mampu meningkatkan transformasi digital perusahaan sebesar 3,41 poin persentase. Implementasi bertahap di berbagai industri juga membantu menekan dampak fiskal jangka pendek.
Indonesia sendiri sesungguhnya memiliki modal besar. Menurut laporan e-Conomy SEA terbaru yang disusun oleh Google, Temasek, dan Bain & Company, ekonomi digital di Indonesia ditaksir mencapai US$110 miliar pada akhir tahun ini, dan menjadi yang terbesar di Asia Tenggara.
Selain itu, penetrasi internet yang mencapai 79,5% serta pertumbuhan transaksi QRIS sebesar 194% pada 2024 turut mencerminkan momentum digitalisasi.
Sayang, kesenjangan antarwilayah dan rendahnya adopsi teknologi artificial intelligence (AI) di kalangan perusahaan—baru 35% dibandingkan dengan rata-rata global sebesar 60%—menunjukkan perlunya intervensi kebijakan yang lebih terarah.
Salah satu opsi yang diusulkan ialah depresiasi dipercepat bertingkat yang menyelaraskan tingkat akselerasi dengan prioritas strategis. Untuk tingkat 1 mencakup infrastruktur digital inti, seperti cloud computing, kecerdasan buatan, dan cybersecurity, dapat diberikan fasilitas depresiasi 100% pada tahun pertama.
Kemudian, tingkat 2 mencakup teknologi Industri 4.0, seperti sensor IoT, otomasi, dan digitalisasi rantai pasok, dapat memperoleh depresiasi dengan metode declining balance 150%.
Selanjutnya, tingkat 3 mencakup platform bisnis digital, seperti e-commerce, pembayaran digital, dan manajemen pelanggan, dapat memperoleh fasilitas declining balance 200%.
Seperti yang telah dilakukan China, implementasinya dilakukan secara bertahap yang memungkinkan pembelajaran kebijakan sambil mengelola dampak fiskal. Pada fase awal selama 6 bulan, penerapannya berupa pilot project untuk 100 perusahaan lintas sektor.
Dalam fase tersebut, pemerintah menguji prosedur administratif dan identifikasi tantangan, sekaligus membangun awareness stakeholder guna menjadi bukti awal efektivitas.
Pada fase kedua selama 18 bulan, penerapannya mulai dilakukan secara penuh disertai dengan kegiatan sosialisasi kepada asosiasi industri dan firma konsultan secara sistematis. Pada saat bersamaan, sistem monitoring dan evaluasi yang ketat terus dilakukan.
Pada fase ketiga selama 12 bulan, penerapan insentif depresiasi dipercepat untuk sektor teknologi digital dievaluasi secara komprehensif. Metodologinya bisa memakai staggered difference-in-differences untuk identifikasi efek kausal dan analisis heterogeneous treatment effect.
Untuk meminimalkan risiko, beberapa mekanisme pengaman juga perlu disiapkan. Misal, pembatasan anggaran maksimal 2,5% dari penerimaan pajak, sunset clause selama 5 tahun, serta mekanisme penyesuaian otomatis untuk modifikasi tingkat insentif.
Selain itu, kolaborasi antarlembaga juga penting, mulai dari Kementerian Keuangan, Ditjen Pajak (DJP), Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Kementerian Komunikasi dan Digital, hingga Bank Indonesia.
Penulis meyakini kerangka depresiasi dipercepat bertingkat menawarkan solusi inovatif untuk dilema kebijakan fundamental Indonesia dalam menyeimbangkan stimulus pertumbuhan digital dengan keberlanjutan fiskal.
Berdasarkan bukti empiris internasional yang kuat dan dirancang sesuai dengan konteks ekonomi Indonesia, depresiasi dipercepat bertingkat ini memiliki potensi signifikan untuk mempercepat transformasi digital sambil mempertahankan disiplin fiskal.
Penulis juga optimistis depresiasi dipercepat bertingkat bisa mengejar target ekonomi digital US$210 miliar-US$360 miliar pada 2030, sekaligus menyediakan model kebijakan berbasis bukti yang dapat diadaptasi untuk prioritas pembangunan strategis lainnya.
*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2025. Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan HUT ke-18 DDTC. Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp75 juta di sini.